Liputan6.com, Jakarta - Utusan utama AS untuk Korea Utara Stephen Biegun mengatakan, Korut telah "menyia-nyiakan" kesempatan untuk terlibat dengan Amerika Serikat dan meningkatkan hubungan antara kedua negara.
"Sayangnya, banyak kesempatan telah disia-siakan oleh rekan-rekan Korea Utara kami selama dua tahun terakhir, yang terlalu sering mengabdikan diri mereka untuk mencari hambatan dalam negosiasi alih-alih memanfaatkan peluang untuk terlibat," ujar Biegun seperti melansir Fox News, Jumat (10/12/2020).
Advertisement
Selanjutnya, Biegun juga membela visi "berani" Presiden Donald Trump untuk membuat negara itu melakukan denuklirisasi, tetapi mengakui bahwa dia kecewa karena pembicaraan antara kedua pihak terhenti setelah dua KTT diselenggarakan di Singapura dan Hanoi.
Sejak itu, Korea Utara menuduh AS memiliki "kebijakan permusuhan" terhadap negaranya atas laporan Departemen Luar Negeri dari 2018 yang menyebut Korea Utara sebagai negara sponsor teror.
Biegun mengatakan dia akan mendesak pemerintahan Biden untuk melanjutkan dialog dengan Korea Utara.
"Perang sudah berakhir, waktu untuk konflik telah berakhir dan waktu untuk perdamaian telah tiba," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hubungan Antara AS dan Korut
Empat tahun lalu, setelah pemilihan presiden terakhirnya, AS fokus pada uji coba nuklir Korea Utara dan peluncuran intercontinental ballistic missile (ICBM).
Mengutip The Diplomat, di bawah Presiden Donald Trump, Washington kemudian mengejar kebijakan yang sangat berbeda terhadap Korea Utara. Sekarang, era Trump akan segera berakhir dan ini tentu akan berdampak besar pada situasi di Korea Utara.
Untuk saat ini, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un tampaknya sedang merendahkan intensitas hubungan dengan AS.
Korea Utara belum merilis pernyataan tentang pemilu baru-baru ini, melainkan lebih memilih untuk mengambil pendekatan sambil menunggu dan melihat. Alasan Korea Utara tetap diam adalah karena mereka mengharapkan Trump untuk kembali menjabat, yang sebelumnya telah memungkinkan tiga pertemuan tatap muka di Singapura, Hanoi, dan Panmunjom.
Pada hari pertama tahun 2020, Kim Jong-un mengindikasikan bahwa Amerika Serikat tetap menjadi ancaman militer dan memperingatkan bahwa "Dunia akan menyaksikan senjata strategis baru yang akan dimiliki oleh DPRK dalam waktu dekat."
Hal itu dibuktikan lewat "senjata strategis baru" yang diluncurkan pada 10 Oktober, ketika salah satu ICBM terbesar di dunia muncul di parade militer untuk HUT ke-75 Partai Pekerja Korea. Hal itu pun mendapat perhatian dari komunitas internasional, tapi ICBM tidak diujicobakan. Kim tampaknya menepati janjinya kepada Trump.
Korea Utara tidak akan mendapatkan sanksi ekonomi yang dicabut kecuali jika bernegosiasi dengan Amerika Serikat. Selain itu, meskipun Presiden Korsel Moon Jae-in menawarkan kerja sama ekonomi sebagai cara untuk menenangkan tetangganya, sebenarnya kerja sama itu akan sulit dilaksanakan.
Ini adalah kenyataan pahit yang dihadapi Kim, yang berencana untuk memerintah selama beberapa dekade mendatang.
Advertisement
Hubungan dengan AS di Era Mendatang
Trump, dengan kegemarannya pada "kesepakatan" yang berani dan kurangnya minat pada masalah hak asasi manusia, akan selalu lebih mudah untuk ditangani pleh Kim. Seandainya Trump terpilih kembali, Pyongyang akan berada di posisi yang tepat untuk memenangkan konsesi yang signifikan, termasuk pencabutan sanksi ekonomi dan normalisasi hubungan diplomatik, dengan menggantungkan kemungkinan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian di hadapan Trump.
Harapan ini kini telah menguap.
Kim Jong-un harus menghadapi presiden baru di Joe Biden dan Partai Demokratnya, yang secara tradisional lebih keras dalam masalah hak asasi manusia. Partai tersebut telah menunjukkan kesediaannya untuk menghadapi China atas isu hak asasi manusia.
Jadi, kecil kemungkinannya Biden akan memberi izin kepada Korea Utara. Bagaimanapun, pernyataannya di masa lalu menunjukkan bahwa Korea Utara tidak akan menjadi prioritas utamanya.