Cadangan Batu Bara Relatif Lebih Besar, ESDM: Investasi Proyek DME Sangat Ekonomis

Investasi proyek Dimethyl Ether (DME) sebagai produk subsitusi LPG, menurut Kementerian ESDM memiliki nilai yang sangat ekonomis.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 11 Des 2020, 18:00 WIB
Aktivitas di tambang batu bara di Lubuk Unen, Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putro)

Liputan6.com, Jakarta Tim Kajian Hilirisasi Batubara Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa investasi proyek Dimethyl Ether (DME) sebagai produk subsitusi LPG memiliki nilai yang sangat ekonomis. Hal ini karena berkaitan dengan cadangan batubara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak dan gas bumi. Status terakhir cadangan emas hitam tersebut tercatat sekitar 38 miliar ton.

Dengan tingkat produksi sekitar 600 juta ton, usia cadangan batubara Indonesia diperkirakan sekitar 63 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.

"LPG sendiri merupakan komoditi energi yang lebih dari 70% masih impor. Sehingga konsumsinya perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," ungkap Dadan Kusdiana, Plt. Kepala Badan Ltbang Kementerian ESDM di Jakarta (6/12).

 

Dalam rangka mendorong kebijakan hilirisasi batubara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Pertamina dan Air Product, dengan kapasitas input batubara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME.

Namun, pada bulan November 2020 lalu terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think tank yang menyebutkan bahwa proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar USD377 juta.

 


Hasil Kajian Tim Balitbang ESDM

Menindaklanjuti kajian tersebut, Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dengan Feasibility Study (FS) PT BA, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek.

Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar USD365/ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat demand energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada FS PT BA sekitar USD600/ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME.

Perbedaan lainnya terkait asumsi harga batubara dan kapasitas input batubara. Asumsi harga batubara yang digunakan lembaga think tank sebesar USD37/ton. Sedangkan FS PTBA sekitar USD21/ton yang merupakan harga batubara PTBA kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batubara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, dimana FS PTBA lebih efisien.

Metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar USD300/ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.

Sedangkan PTBA telah melakukan Feasibility Study komprehensif dengan asumsi data (sebagaimana tabel) yang menghasilkan keekonomian proyek dengan Net Present Value (NPV) USD350 juta dan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 11% sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu FS PTBA juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya.

 


Dampak Ekonomi dari Proyek DME

Selain keekonomian proyek, setidaknya terdapat 6 poin dampak ekonomi dari hilirisasi batubara untuk DME.

Pertama, DME meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan menekan impor LPG hingga 1 juta ton LPG per tahun (kapasitas produksi DME 1,4 juta ton per tahun).

Kedua, menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menghemat Neraca Perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.

Ketiga, akan menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar USD2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun).

Keempat, pemanfaatan sumberdaya batubara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik.

Kelima, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp800 miliar per tahun.

Keenam, pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.

Selain itu, dalam mendukung implementasi substitusi LPG ke DME, Lemigas Balitbang ESDM telah melakukan uji coba terkait kompor DME.

"Hasil uji coba kami, menunjukkan bahwa efisiensi kompor meningkat dari rata-rata 61,9% dengan penggunaan LPG, menjadi 73,4% apabila menggunakan DME. Sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya," tambah Dadan.

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya