Mengenang 28 Tahun Gempa Flores Tahun 1992

Masyarakat Flores memang terpukul habis. Dinamika perjuangan dan kemajuan seperti ditarik mundur jauh ke belakang.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Des 2021, 18:10 WIB
Situasi Desa Ilepadung kecamatan lewolema yang terdampak bencana 1992 (dok. Pribadi)

Liputan6.com, Jakarta Tanggal 12 Desember tahun 1992, Indonesia dikejutkan dengan guncangan gempa kuat dan terjangan gelombang tsunami yang melanda pantai utara Pulau Flores. Bencana tersebut diawali gempa yang terjadi pukul 05:29 UTC atau 13.29 WITA berkekuatan 7.8 Mw atau Magnitudo Momen. Pusat gempa terletak pada koordinat 8.340°LS dan 122.490°BT, dengan kedalaman 20.4 kilometer.

Mekanisme terjadinya Tsunami Flores tahun 1992 menjadi topik menarik bagi beberapa ilmuwan karena ditemukan tinggi tsunami yang mencapai 26 meter di pantai Riangkroko, kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Padahal, di beberapa daerah yang dekat dengan sumber gempa, tinggi tsunami hanya berkisar antara 2-6 m. Para peneliti menduga pembangkit tsunami tidak hanya disebabkan oleh gempa.

Di bagian utara Kepulauan Flores, terdapat sesar naik bagian belakang busur Flores (Flores Back Arc Thrust) yang dapat membangkitkan gempa bawah laut dan tsunami. Walaupun tidak sebesar zona subduksi di Palung Sunda, tetapi zona sesar naik di sebelah utara Flores mampu membangkitkan tsunami, sesar ini penyebab terjadinya gempa di Flores pada tahun 1992 sehingga membangkitkan tsunami di sejumlah pesisir Kepulauan Flores.

Beberapa hal yang menjadikan mekanisme pembentukan tsunami di Flores tahun 1992 menarik bagi sebagian besar peneliti adalah adanya keganjilan tinggi tsunami di Flores Timur yang mencapai 26,2 m dan rusaknya desa-desa di Pulau Babi bagian selatan yang letaknya tidak berhadapan langsung dengan sumber gempa.

Menurut survei yang dilakukan Tim Survei Tsunami Internasional / International Tsunami Survey Team (ITST), run-up tsunami yang terukur setinggi 2 m di Maumere, 3 m di Wuring, dan 6 m di Pulau Babi. Run-up tsunami yang sangat tinggi terukur di bagian timur Pulau Flores, dengan tinggi 11 m di Waibalan dan 26 m di Riangkroko, bahkan fondasi rumah ikut hanyut bersama tsunami. Kejadian Tsunami Flores tahun 1992 merupakan kejadian yang cukup menggemparkan tidak hanya masyarakat Indonesia, namun juga peneliti internasional.

Pada bencana gempa dan tsunami Flores, korban meninggal berjumlah 1.952 orang, korban luka ringan/berat berjumlah 2.126 orang, dan korban hilang berjumlah 500 orang. Sedangkan dampak bangunan rusak berjumlah 18.000 unit. Pada tahun 1992, Menko Kesra selaku Ketua Bakornas PB Rustam mengumumkan bencana Tsunami Flores 1992 ditetapkan sebagai bencana nasional yang tertuang dalam Keputusan Presiden No 66 tahun 1992, tanggal 16 Desember.

Masyarakat Flores memang terpukul habis. Dinamika perjuangan dan kemajuan seperti ditarik mundur jauh ke belakang. Persoalan yang dihadapi masyarakat Flores pasca bencana bukan lagi bagaimana meneruskan dan memacu pembangunan, tapi bagaimana harus memulai lagi pembangunan itu dari bawah. Secara keseluruhan, masyarakat Flores kembali ke dinamika hidupnya, yang lebih keras dan sulit. Sejak kejadian bencana, mereka pada tingkat bergerak untuk berusaha bagaimana harus bangkit, belum bergerak untuk mengejar.

Selain itu, situasi yang sangat sulit memicu masalah-masalah yang menurunkan tingkat keamanan di lokasi terdampak. Pada bencana tahun 1992 negara telah hadir dan melakukan upaya-upaya untuk melindungi keselamatan masyarakat Flores, namun proses tidak berjalan mudah.

 


Perkuat Penanggulangan Bencana Lintas Sektor

Desa lamatutu, desa tempat relokasi kampung Turubeang yang hanyut diterjang tsunami (dok. Pribadi)

Penanggulangan patut menjadi tenaga utama kita dalam menangani bencana. Penanggulangan bencana adalah proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah penanganan bencana alam, meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali.

Upaya penanggulangan bencana alam di perlu multidisiplin ilmu dan membutuhkan koordinasi lintas sektoral. Untuk itu antar sektor perlu latihan rutin dalam rangka sinergi mensukseskan koordinasi tersebut agar memahami prosedur standar dalam penanggulangan bencana. Tantangan lain yang dapat ditemui di lapangan diantaranya acuhnya masyarakat terhadap potensi bencana di wilayahnya serta infrastruktur pendukung keselamatan.

Salah satu upaya yang perlu kita lakukan dalam menjawab tantangan tersebut ialah membangun sikap tanggap bencana bagi masyarakat yang berada di wilayah rawan, misalnya melakukan pelatihan Sekolah Lapang Gempa. Sekolah Lapang Gempa bertujuan untuk menguatkan peran UPT BMKG daerah sebagai perpanjangan tangan BMKG pusat yang berperan dalam memberikan pemahaman yang benar mengenai Informasi Gempa dan Peringatan Dini Tsunami dan menguatkan peran BPBD sebagai simpul utama dari komunikasi di daerah dalam memberikan informasi dan arahan yang benar kepada masyarakat dan SKPD terkait Peringatan Dini Tsunami.

Sekolah Lapang Gempa akan memberi pelatihan langkah-langkah dalam menghadapi sebelum, saat dan setelah gempa terjadi serta langkah tanggap menghadapi gempa potensi tsunami; Pengenalan Jenis Peringatan Dini, Status Ancaman, Timeline Peringatan Dini dan Rantai Peringatan Dini Tsunami; Pemaparan Peran dan tantangan media dalam mitigasi bencana gempa dan tsunami; Diskusi Kelompok untuk menggali kapasitas masing-masing kelompok peserta; dan Gladi Ruang dalam bentuk Pelatihan di dalam ruangan untuk menguji pemahaman Produk Peringatan Dini Tsunami, Rantai Peringatan Dini, dan SOP Pengambilan Keputusan.

Poin-poin di atas amat penting karena peringatan dini tsunami memerlukan koordinasi yang tepat sasaran dan mudah dipahami di lapangan. Kegiatan ini melibatkan banyak pemangku kepentingan seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI/POLRI, media masa, dan LSM yang bertujuan untuk memahami rantai peringatan dini gempa potensi tsunami agar tidak terjadi kesimpangsiuran di lapangan. Kegiatan tersebut juga selalu dievaluasi untuk menemukan kekurangan yang merugikan kelancaran jalur peringatan.

Pelajaran yang dapat diambil dari Sekolah Lapang Gempa tersebut ialah perlunya tindak lanjut dalam bentuk penguatan kapasitas pusdalops/BPBD dan media yang merupakan bagian dari rantai peringatan dini tsunami, serta peningkatan sikap tanggap masyarakat dalam merespon bahaya tsunami. Pelajaran ini disusun sedemikian rupa dalam bentuk rekomendasi.

 

Admiral Musa Julius, Staf Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Jakarta, Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pertahanan (UNHAN)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya