Jika Gula Darah Tak Terkontrol hingga Komplikasi, Pasien Diabetes Rentan Kena COVID-19

Gula darah tak terkontrol hingga komplikasi, pengidap diabetes rentan terkena COVID-19.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Jan 2024, 12:31 WIB
ilustrasi Gula darah tak terkontrol hingga komplikasi, pengidap diabetes rentan terkena COVID-19. | unsplash.com/@kateredfern

Liputan6.com, Jakarta Ancaman COVID-19 menghantui orang-orang yang memiliki penyakit penyerta (komorbid), salah satunya para penyandang diabetes melitus. Ketika virus Sars-CoV-2 penyebab COVID-19 menginfeksi orang dengan diabetes, gejala yang kian memburuk dapat terjadi.

Kondisi ini terjadi tatkala gula darah pasien diabetes tidak terkontrol atau berujung mengalami komplikasi diabetes, seperti jantung koroner, penyempitan saraf, dan serangan jantung. Keseimbangan sistem imun yang tidak terjaga dengan baik, sehingga virus Sars-CoV-2 mudah masuk, maka orang dengan diabetes akan berisiko tinggi terinfeksi COVID-19.

Pasien diabetes yang terkena COVID-19 pun cukup banyak dirawat di rumah sakit, bahkan penyakit penyerta ini menyumbang kematian pasien COVID-19 di negara-negara dunia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Cut Putri Arianie mengungkapkan, diabetes menjadi salah satu penyakit komorbid dengan tingkat kematian COVID-19 tertinggi.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 21 November 2020, diabetes melitus menduduki peringkat kedua pada pasien dengan kasus konfirmasi positif COVID-19 (35,5 persen), dirawat/isolasi mandiri (0,7 persen), sembuh (24,2 persen), dan kematian di Indonesia (10,6 persen).

Adanya data di atas menjadi pengingat, para pengidap diabetes dapat menerapkan perilaku hidup sehat dan mematuhi protokol kesehatan.

“Kami sudah mendistribusikan pedoman Adaptasi Kebiasaan Baru di masa pandemi COVID-19 sejak Mei 2020. Diharapkan juga skrining tetap berjalan pada masyarakat dengan penerapan protokol kesehatan, sehingga lebih cepat terdeteksi diabetes atau tidak,” kata Cut secara virtual, ditulis Senin (14/12/2020).

“Bagi orang yang sudah mengidap diabetes, perubahan perilaku sehat ini penting. Jaga kesehatan dan bisa kontrol gula darah menggunakan layanan telemedicine atau fitur buat kontrol atau konsultasi daring lewat Mobile JKN buat yang peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

 

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:


Komorbid Diabetes di Negara Lain

Tak hanya di Indonesia, komorbid diabetes pada pasien COVID-19 juga tercatat di negara lain. Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Ketut Suastika mencontohkan, pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit Wuhan, Tiongkok dan New York, Amerika Serikat. Bahwa diabetes termasuk komorbid tiga teratas yang diidap pasien COVID-19. 

 

“Kita masih pandemi COVID-19, orang yang positif banyak yang mengidap penyakit komorbid, seperti penyakit jantung dan kegemukan (obesitas). Diabetes melitus juga sering sekali ditemukan pada orang-orang dengan infeksi COVID-19,” jelas Ketut dalam dialog virtual The Economic Burden of Diabetes and The Innovative Policy.

“Kalau di Wuhan, misalnya, diabetes melitus sebagai nomor peringkat nomor dua pada masyarakat. Di New York, AS, pasien yang masuk rumah sakit punya komorbid diabetes juga dan itu menjadi nomor tiga teratas.”

 

Mengutip studi Yang J et al. Internat J Infect Dis yang dipublikasikan Maret 2020, prevalensi pasien COVID-19 dengan komorbid diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit Wuhan sebesar 8 persen. Studi Prevalence of comorbidities in the Novel Wuhan Coronavirus (COVID-19) infection: a systematic review and meta-analysis ini mencakup 46.248 pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan rata-rata usia 46 tahun. 

Posisi teratas, yakni hipertensi 17 persen dan posisi ketiga kardiovaskular sebesar 5 persen. Sementara itu, studi Richardson S, et al. JAMA yang dipublikasikan April 2020, pasien COVID-19 dengan komorbid diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit New York, AS sebesar 33,8 persen. Data tersebut diambil dari 5.700 pasien yang rata-rata usia 63 tahun. Posisi pertama yakni hipertensi 56,6 persen dan obesitas pada posisi kedua sebesar 41,7 persen.

“Yang paling penting, sesungguhnya risiko mereka dengan diabetes untuk kena COVID-19 terbilang tinggi. Kalau dia sudah menderita COVID-19, sebagian besar rentan. Istilahnya, mereka mengalami imunokompromais. Maksudnya, orang-orang yang lemah di dalam daya tahan tubuh,” terang Ketut.

“Dan di antara (pengidap diabetes kena COVID-19) dalam kondisi berat atau parah, sebagian besar akan meninggal. Oleh karena itu, pasien COVID-19 komorbid diabetes dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes termasuk kelompok rentan dan berisiko tinggi.”


Rajin Periksa Gula Darah

Penelitian yang ditulis Singh AK, et al. Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews 14 tahun 2020 menghimpun studi berbagai sumber mengenai prevalensi tingkat keparahan dan pengidap diabetes melitus yang bertahan (survivor) dari infeksi COVID-19. Dalam studi Liu et al (17,6 persen), Wang et al (22,2 persen), dan Huang et al (25 persen), tingkat keparahan pasien COVID-19 dengan diabetes termasuk tinggi. 

Bahkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS menunjukkan, tingkat keparahan pasien COVID-19 dengan diabetes sebesar 32 persen dibanding pasien yang tidak punya riwayat diabetes (9,4 persen).  Untuk prevalensi pasien diabetes bertahan dari COVID-19 terbilang rendah dibanding yang meninggal. 

Angka itu dilihat dari studi Guan et al, Zhou et al, dan Wu et al. Pada studi Guan et al, pasien diabetes yang bertahan 6,1 persen dan 26,9 persen meninggal. Studi Zhou et al, pasien diabetes bertahan dari COVID-19 sebesar 14 persen dan 31 persen meninggal. Pada studi Wu et al, 2,5 persen pasien COVID-19 yang punya komorbid diabetes dan 25 persen meninggal.

Melihat data di atas, ada upaya agar pasien diabetes melitus tidak terserang COVID-19. Upaya ini juga menyasar untuk orang tanpa diabetes terhindar dari diabetes dan COVID-19. Prinsip pencegahan untuk orang tanpa diabetes, yakni sering cuci tangan, terapkan etika batuk dengan benar menutup mulut, dan jaga jarak (social distancing).

 

“Jangan berkerumun dan bepergian bebas di masa pandemi, kecuali ada urusan dan keperluan mendadak, Ini adalah usaha-usaha untuk memecahkan rantai penyebaran COVID-19. Kemudian bagi mereka yang diabetes harus rajin memeriksakan gula darah,” terang Ketut.

“Kalau seandainya dia terserang COVID-19 dan membutuhkan obat. Sekaligus juga kalau mereka mempunyai kelainan jantung, kelainan ginjal, memerlukan obat-obatan. Semua obat-obatan harus diminum secara reguler dan prinsip-prinsip itu juga harus dikerjakan oleh pasien-pasien diabetes. Tentu dengan asumsi dapat mencegah infeksi COVID-19.”

 

Pada penderita diabetes usia lanjut agar terhindari dari COVID-19 dianjurkan untuk vaksinasi influenza dan pneumonia. Pasien pun tinggal melanjutkan pemeriksaan gula darah dan diberikan pemahaman soal gula darah melalui layanan telemedicine.

Cara tersebut sangat membantu pasien tetap mendapatkan pengobatan dan konsep-konsep pengobatan yang baik. Pasien diabetes tidak harus selalu datang ke rumah sakit, sehingga risiko tertular infeksi COVID-19 diminimalisir.


Kenaikan Pengidap Diabetes dan Prediabetes

Melihat data epidemiologi diabetes dari Diabetes Atlas tahun 2019, ada prakiraan kenaikan jumlah orang diabetes rentang 2030, dan 2045 antara usia 20–79 tahun yang diranking 10 negara. Kesepuluh negara yang masuk ranking 10 besar kenaikan diabetes pada 2030, antara lain:

1. Tiongkok 140,5 juta orang

2. India 101 juta orang

3. Amerika Serikat 34,4 juta orang

4. Pakistan 26,2 juta orang

5. Brasil 21,5 juta orang

6. Meksiko 17,2 juta orang

7. Indonesia 13,7 juta orang

8. Mesir 11,9 juta orang

9. Bangladesh 11,4 juta orang

10. Jerman 10,1 juta orang

Adapun sepuluh negara yang masuk ranking 10 besar kenaikan diabetes pada 2045, antara lain:

1. Tiongkok 147,2 juta orang

2. India 134,2 juta orang

3. Pakistan 37,1 juta orang

4. Amerika Serikat 36 juta orang

5. Brasil 26 juta orang

6. Meksiko 22,3 juta orang

7. Mesir 16,9 juta orang

8. Indonesia 16,6 juta orang

9. Bangladesh 15 juta orang

10. Turki 10,4 juta orang

Selain kenaikan pengidap diabetes, Ketut mengingatkan jumlah orang yang prediabetes juga akan mengalami kenaikan, khususnya di Indonesia. Pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi ketiga dunia dengan jumlah prediabetes mencapai 29,1 juta orang. Diperkirakan tahun 2030, jumlah prediabetes Indonesia 32,8 juta orang.

 

“Kalau kita membiarkan prediabetes ini mungkin setiap tahunnya akan naik. Lama-lama akan menjadi diabetes. Kalau rentang 10 tahun saja kenaikan  50 persen orang prediabetes, akan jadi diabetes. Kondisi ini mengerikan dan jadi ancaman,” jelasnya.

“Sekarang, bersyukur sekali. Kementerian Kesehatan sudah sangat menyadari tentang ini. Kita harus segera bertindak karena kalau prediabetes tidak dicegah, maka nanti di kemudian hari akan jadi masalah besar. Konsep-konsep pencegahan primer dan promotif sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.”

 

Apabila upaya yang dilakukan Kemenkes dalam kurun 5 tahun atau 10 tahun kedepan lancar, diharapkan prevalensi diabetes akan menjadi turun. Tidak saja diabetesnya akan menjadi turun, tapi kejadian prediabetes juga akan menurun. Harapannya, komplikasi diabetes juga makin kecil sekaligus pembiayaan orang-orang diabetes akan jadi lebih kecil.


Komplikasi dan Pengelolaan Diabetes

Komplikasi diabetes ilustrasi jantung/unsplash

Dari informasi American Diabetes Association: Diabetes statistics, komplikasi diabetes terdiri atas makrovaskular (pembuluh darah besar) dan mikrovaskular (pembuluh darah kecil). Komplikasi makrovaskular, yakni penyakit jantung dan stroke yang menjadi penyebab kematian (65 persen). Lebih dari 60 persen pengidap diabetes harus mengalami amputasi.

Komplikasi mikrovaskular, yakni diabetes retinopati menjadi penyebab 12.000-14.000 kasus baru per tahun yang buta dalam rentang usia 20-74 tahun. Lalu kasus gagal ginjal (44 persen) dan 60-70 persen pasien diabetes mengalami beberapa kerusakan sistem saraf.

 

“Penyakit jantung, stroke, dan diabetes ini merupakan tiga penyakit teratas yang menjadi penyebab kematian yang terbesar di Indonesia tahun 2019. Diabetes juga menyebabkan amputasi paling tinggi, kemudian komplikasi kebutaan, dan paling tinggi gagal ginjal. Sehingga membuat pasien diabetes menjalani cuci darah,” Ketut menjelaskan.

“Diabetes juga menjadi penyebab paling tinggi kelainan saraf. Itulah kenapa diabetes dengan komplikasinya yang tidak ditangani dengan baik, maka banyak sekali komplikasi yang terjadi di dalam tubuh. Tidak saja menyebabkan angka kesakitan, masalah sosial, kematian tetapi lagi sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pengobatan menjadi tinggi.”

 

Pengelolaan diabetes lewat edukasi penting dan dukungan sangat dibutuhkan. Edukasi seperti pengaturan makanan dan olahraga, menghentikan merokok termasuk konsep-konsep yang harus disebarluaskan. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dapat dioptimalkan. Dengan demikian, sebagian besar pasien diabetes tidak perlu memerlukan rujukan ke pelayanan sekunder.

“Intinya, dalam pengelolaan diabetes, pemeriksaan gula darah saja pada pasien-pasien diabetes, memerhatikan berat badan, tekanan darah, dan kolesterol perlu. Diharapkan FKTP, 78 persen pasien pasien diabetes akan ditangani. Tentunya, insulin untuk pasien diabetes dapat disediakan di layanan primer dengan harga yang terjangkau,” imbuh Ketut.

“Kalau beberapa obat diabetes, termasuk insulin harus dikerjakan oleh layanan primer, kemudian ditangani ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL), pembiayaan menjadi bertambah. Saat ini, kami dorong sebenarnya pemeriksaan gula darah penting di FKTP.”


Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19

Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya