Liputan6.com, Jakarta - Cuaca ekstrem yang terjadi secara merata di daerah pesisir dalam satu bulan terakhir menggambarkan kurangnya kesiap-siagaan baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UU No. 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.
Padahal risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran, memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum kepada nelayan yang tertuang dalam Pasal 3 merupakan aspek penting dalam UU ini.
Advertisement
“Jika melihat keadaan di lapangan saat ini, terlihat minimnya strategi perencanaan dan penganggaran untuk memberi perlindungan, pengawasan, pencegahan dan penanganan kebencanaan yang berdampak kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam,” kata Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, dalam keterangan tertulis, Senin (14/12/2020).
KNTI menerima laporan sementara dari pengurus daerah KNTI di 11 Kabupaten dan Kota dalam 1 bulan terakhir. Tercatat sekitar 55 kapal nelayan kecil rusak di Surabaya, Semarang, Sumenep, Bangkalan, Tuban, dan Serdang Bedagai. Puluhan rumah nelayan ataupun masyarakat pesisir juga mengalami kerusakan akibat dihantam gelombang dan angin kecang.
Di Kota Pekalongan misalnya karena tanggul penahan air rusak, maka air masuk ke rumah-rumah warga. Hal ini dialami juga oleh masyarakat pesisir di Tanjungbalai, Asahan dan Kota Medan. Air masuk ke rumah warga berhari-hari sehingga barang dalam rumah mengalami kerusakan.
Cuaca ekstrim mengakibatkan aktivitas sektor perikanan lumpuh. Ratusan ribu nelayan kecil dilaporkan tidak bisa melaut karena gelombang tinggi dan angin kencang. Sedang di Jawa Timur seperti di Gersik, Tuban dan Surabaya nelayan yang memaksakan diri melaut karena kebutuhan mendesak, akhirnya menimbulkan risiko keselamatan yang besar.
Di Bangkalan, nelayan KNTI melaporkan rumpon milik nelayan hilang hanyut terbawah arus, robohnya dinding penahan ombak, kehilangan bibit mangrove hingga korban jiwa akibat terseret arus.
Dampak lain juga dirasakan oleh pembudidaya ikan di Indramayu, sekitar 200 hektar areal tambak ikan pembudidaya tenggelam oleh rob dan hujan ekstrem, pun demikian dengan aktivitas petambak garam.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tindakan
Kondisi ini merupakan kejadian rutin yang cenderung terus memburuk dampaknya bagi nelayan dan pembudidaya dari tahun ke tahun. Tetapi sayangnya, kejadian luar biasa ini tidak melahirkan tindakan “luar biasa” dari pemerintah.
Penanganan Perlindungan terhadap pelaku usaha perikanan cenderung tidak banyak perubahan, seperti penyediaan informasi cuaca, perbaikan infrastruktur pesisir, alat keselamatan melaut, asuransi nelayan yang lebih komprehensif, maupun respon tanggap darurat seperti penyediaan bantuan sosial bagi keluarga nelayan yang berhenti melaut di masa cuaca ekstrem.
Perlu juga memastikan sarana penunjang keselamatan nelayan seperti marcesuar atau gardu pandang guna memantau cuaca dan aktivitas nelayan di laut.
KNTI mendesak agar pemerintah pusat dan daerah, terutama yang memiliki wilayah pesisir untuk menyusun strategi yang komprehensif, termasuk menyediakan payung hukum yang kuat untuk membuat skema adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau kecil, khususnya bagi nelayan dan pembudidaya.
“Mengingat dampaknya yang semakin memburuk, langkah-langkah cepat juga perlu diambil segera untuk mengatasi kedaruratan akibat dampak cuaca ekstrem yang dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir saat ini,” lanjut Dani.
Advertisement