Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bicara soal potensi ancaman hukuman mati terhadap Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara. Juliari merupakan tersangka kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (Bansos) Covid-19 di wilayah Jabodetabek.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Mensos Juliari Batubara sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (Tipikor).
Advertisement
"Hukuman mati memang diatur di UU (Tipikor) Pasal 2," ujar komisioner yang akrab disapa Alex di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (14/12/2020).
Alex mengatakan, dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 dimungkinkan untuk menuntut hukuman mati jika terbukti ada kerugian keuangan negara dari perbuatan yang dilakukan Menteri Juliari.
"Ya kita lihat sistematisnya, kalau memang masif, dan dia otak pelakunya dan kerugiannya triliunan, ya, dimungkinkan kalau berdasarkan UU yang ada. Kalau hukumannya sih terserah hakim," kata Alex.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
KPK Tanggapi Temuan MAKI
Sebelumnya, KPK juga memastikan bakal mendalami dugaan Menteri Sosial Juliari Batubara menerima uang Rp 33 ribu per paket bansos wilayah Jabodetabek untuk penanganan pandemi Covid-19.
"Seluruh data dan informasi terkait pengadaan bansos tersebut tentu akan didalami dan digali dari keterangan para saksi yang akan dihadirkan dalam proses penyidikan tersebut," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Jumat (11/12/2020).
Ali menyatakan demikian sekaligus menanggapi pernyataan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang menduga nilai yang dikorupsi Juliari lebih dari Rp 10 ribu per paket bansos. Boyamin menduga Juliari menerima Rp 33 ribu per paket bansos.
"Kalau berapa kira-kira gambarannya per paket yang dikorup, dugaannya dari hitung-hitunganku adalah Rp 28 ribu, ditambah Rp 5 ribu adalah Rp 33 ribu," kata Boyamin dalam keterangannya, Kamis (10/12/2020)
Menurut Boyamin, berdasarkan penelusurannya di lapangan, dari nilai Rp 300 ribu yang dianggarkan Kemensos untuk per paket bansos, dia menduga sebanyak Rp 82 ribu yang dipotong untuk masuk kantong pribadi.
"Jadi anggaran Rp 300 ribu, terus dipotong Rp 15 ribu untuk transport, Rp 15 ribu untuk tas goodie bag. Jadi seakan-akan pemborong mendapatkan Rp 270 ribu. Kalau berdasarkan barang yang ada di lapangan yang diterima masyarakat senilai Rp 188 ribu. Jadi artinya dugaan yang dikorupsi adalah Rp 82 ribu," kata Boyamin.
Dari nilai itu, Boyamin menyebut pemenang tender diperbolehkan mengambil keuntungan dengan batas maksimal 20 persen. Dengan demikian, pemenang tender memperoleh keuntungan maksimal Rp 54 ribu berdasarkan perhitungan 20 persen dari Rp 270 ribu.
"Dari selisih tadi, Rp 82 ribu dikurangi Rp 54 ribu. Jadi kira-kira yang dikorup adalah per paket Rp 28 ribu, itu untuk barang ya. Dan untuk goodie bag juga ada sekitar Rp 5 ribu yang dikorup. Karena goodie bag itu anggap saja harganya Rp 10 ribu dari Rp 15 ribu. Jadi Rp 28 ribu ditambah Rp 5 ribu sekitar Rp 33 ribu," jelas Boyamin.
Untuk itu, Boyamin menduga terdapat pihak lain yang turut kecipratan kasus ini. Hal ini lantaran, terdapat selisih Rp 23 ribu, jika Juliari dan dua pejabat Kemensos memang hanya mengambil Rp 10 ribu perpaket.
"Berarti Rp 23 ribu tadi bisa saja untuk bancakan, ada yang ke pejabat, ada yang ke pemborong sendiri. Jadi pemborong mengambil untungnya lebih dari 20 persen. Karena apa? Selain dugaan untuk bancakan antara pemborong dan pejabat senilai Rp 23 ribu tadi, karena sudah dipotong untuk Mensos Rp 10 ribu," kata dia.
Advertisement