Vaksinasi COVID-19 Telah Dimulai di Sejumlah Negara, Mungkinkah Adil dan Merata bagi Semua?

Sejumlah negara telah memulai proses vaksinasi COVID-19, namun apakah vaksin tersebut akan didapatkan secara adil dan merata oleh semua orang di dunia?

Oleh DW.com diperbarui 14 Des 2020, 16:21 WIB
Perawat menyuntikkan vaksin corona Sputnik V di tengah pandemi yang sedang berlangsung di sebuah klinik di Moskow, Sabtu (5/12/2020). Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pihak berwenang memulai vaksinasi massal untuk orang-orang berisiko tinggi tertular Covid-19. (Kirill KUDRYAVTSEV/AFP)

Jakarta - Sejumlah pemerintahan telah menerima vaksin COVID-19 di negaranya. Bahkan, beberapa negara telah memulai proses vaksinasi. Mereka adalah Rusia, Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia menjadi negara-negara yang melihat harapan dalam vaksin COVID-19 yang semakin dekat.

Negara kaya lainnya pun juga telah memesan vaksin tersebut untuk rakyatnya.

Organisasi besar dunia, bahkan banyak pejabat negara telah menegaskan keinginan mereka untuk mengupayakan vaksin COVID-19 yang adil dan merata bagi semua orang. Namun, apakah hal tersebut benar-benar bisa terwujud?

Mengutip DW, Senin (14/12/2020), organisasi nonpemerintah Amnesty International (AI) telah mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa negara-negara kaya telah mendapatkan cukup vaksin virus corona untuk melindungi tiga kali lipat populasi mereka hingga pada akhir tahun 2021.

Kecenderungan memborong ini kemungkinan merampas hak miliaran orang di negara yang lebih miskin untuk mendapatkan vaksin

Sekitar 67 negara miskin di seluruh dunia, seperti Kenya, Myanmar, Nigeria, Pakistan dan Ukraina, hanya akan mampu memvaksinasi satu dari tiap sepuluh orang warganya, demikian tulis AI. Organisasi ini pun mendesak agar segera diambil tindakan cepat oleh pemerintah terkait dan industri farmasi untuk memastikan diproduksinya dosis vaksin dalam jumlah yang cukup.

AI dan organisasi lain seperti Frontline AIDS, Global Justice Now dan Oxfam, mendesak pemerintah dan industri farmasi untuk mengambil tindakan guna memastikan kekayaan intelektual vaksin dapat dibagikan secara luas. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Masalah Logistik dan Letak Geografis

PM Israel Benjamin Netanyahu menghadiri upacara untuk menandai kedatangan pesawat yang membawa gelombang pertama vaksin COVID-19 Pfizer di Bandara Internasional Ben Gurion, Tel Aviv, Israel, 9 Desember 2020. Israel memesan sekitar 8 juta vaksin Pfizer. (Xinhua/JINI/Marc Israel Sellem)

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, juga telah mendukung skema program vaksin global yang dikenal sebagai COVAX yang berupaya memastikan distribusi vaksin yang adil. Sekitar 189 negara telah bergabung dalam program ini. Tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat belum mendaftar karena telah mencapai kesepakatan bilateral dengan produsen.

Namun, tantangan tidak hanya terletak pada kemampuan mengamankan stok vaksin. Kantor berita AP menerbitkan laporan tentang ketidakmampuan negara miskin dan berkembang dalam menyediakan fasilitas pendingin untuk menyimpan dan mendistribusikan vaksin.

Sebelum digunakan, vaksin virus corona harus terus.menerus disimpan dalam pendinginan steril agar kualitasnya tetap terjaga. Tampaknya negara-negara miskin harus berusaha ekstra keras untuk bisa mempertahankan ‘rantai dingin’ penyimpanan vaksin ini. Bagi negara-negara miskin, menyediakan rantai dingin untuk distribusi vaksin virus corona bukan hal yang mudah.

Vaksin ini harus disimpan dalam suhu yang sangat dingin, yaitu sekitar minus 70 derajat Celsius. Akibatnya, lagi-lagi, orang miskin menjadi yang paling terpukul oleh pandemi, juga cenderung menjadi yang terakhir pulih.

Para ahli logistik memperingatkan bahwa sebagian besar dunia tidak punya atau kekurangan fasilitas pendingin untuk bisa menjalankan program vaksinasi secara efektif. Ini termasuk sebagian besar negara di Asia Tengah, sebagian besar wilayah India dan negara-negara di Asia Tenggara, Amerika Latin dan Afrika seperti di Burkina Faso. 

Selain itu, kondisi geografis juga menjadi tantangan di sebagian besar negara. Seorang ibu di Burkina Faso contohnya, harus berjalan kaki selama berjam-jam untuk bisa mencapai pusat layanan kesehatan terdekat. Kondisi ini juga terdengar familiar bagi sebagian masyarakat di Indonesia.


Vaksin COVID-19 untuk Iran

ilustrasi vaksin. Photo by Daniel Schludi on Unsplash

Sanksi yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Iran telah mempersulit negara itu dalam mengimpor vaksin virus corona, kata Presiden Iran.

"Ketika kita bicara tentang impor vaksin, kita mengutuk Trump ini 100 kali, yang bahkan tidak peduli dengan kesehatan masyarakat," ujar Presiden Iran, Hassan Rowhani, di televisi pemerintah.

Namun, pemerintah Iran mengatakan akan menemukan cara untuk membeli vaksin pada waktu yang waktu dan membuatnya tersedia bagi rakyat Iran, kata presiden. Setelah secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir Wina pada 2018, Trump menjatuhkan sanksi terhadap Iran yang juga memengaruhi akses negara itu kepada sistem perbankan internasional.

Sebagai akibatnya, Iran secara de facto tidak dapat membeli atau menjual apa pun melalui sistem perbankan asing. Meskipun ada pengecualian untuk obat-obatan dan makanan, Bank Sentral Iran mengklaim bahwa hal ini tidak berlaku di kenyataan.

Iran yang telah terpukul oleh sanksi ini, lebih terpukul lagi oleh krisis virus corona. Sejak wabah resmi tercatat di Iran pada akhir Februari 2020, sudah ada lebih dari 50.000 kasus kematian dan lebih dari 1 juta infeksi telah dicatat.

Vaksin corona memang ibarat cahaya terang di akhir lorong kegelapan kala pandemi. Pasar-pasar di pusat bisnis di dunia juga secara optimistis menyambut kabar ini. Namun bagi banyak orang, utamanya di negara-negara miskin, harapan untuk mendapat vaksin masih terlalu tinggi untuk digapai.


Infografis Cara Kerja Vaksin Virus Corona COVID-19:

Infografis Yuk Kenali Cara Kerja Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya