Liputan6.com, Jakarta - Tujuh tahun sistem asuransi sosial BPJS Kesehatan berjalan, sistem rujukan masih menjadi isu hangat. Banyak peserta maupun non peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan bertanya-tanya, mengapa saat berobat perlu ke puskesmas atau klinik dulu dan tidak bisa langsung berobat ke rumah sakit.
"Kita (BPJS Kesehatan) seolah-olah membatasi yang dirujuk, seolah-olah ya. Padahal tidak. Kita tidak membatasi," kata Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan, Ari Dwi Ariyani.
Advertisement
Ari menjelaskan bahwa saat pasien berobat ke puskesmas atau klinik maupun dokter umum yang termasuk dalam fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP) bakal menyaring perlu atau tidak merujuk pasien JKN yang datang.
"Dokter di FKTP, memiliki 144 kompetensi penyakit yang bisa ditangani. Jadi, dokter umum itu akan memfilter apakah kondisi pasien tersebut bisa dikerjakan sendiri atau tidak. Kalau bisa, tidak perlu dirujuk," kata Ari dalam webinar Progres Upaya Perbaikan Kualitas Layanan Program JKN -KIS pada Rabu (16/12/2020)
Ari yang menegaskan bahwa dokter umum di Indonesia memang kompeten. Sebaiknya masyarakat terutama peserta JKN-KIS tidak perlu ragu akan kompetensi mereka.
"Jadi, ketika dirujuk ya harus dirujuk. Dengan ada 144 penyakit yang bisa diatasi ya akan diobati oleh dokter tersebut, kalau tidak bisa maka akan dirujuk," Ari menjelaskan.
Selain itu, proses rujukan juga memiliki manfaat bagi pasien. Bila pasien yang termasuk dalam 144 penyakit yang bisa ditangani di puskesmas maupun klinik, tidak perlu ke rumah sakit yang mana penuh virus atau bakteri penyebab penyakit.
"Di RS juga ada banyak infeksi, kalau tidak penting sekali tidak perlu ke RS," ujar Ari.
Beda Persepsi Dokter dan Pasien
Sudut pandang sakit dan sembuh antara dokter dan pasien yang kerap berbeda turut membuat pasien banyak mengeluhkan tidak sembuh bila dirawat di puskesmas atau klinik.
Wanita yang berlatar belakang sebagai dokter umum ini memahami perbedaan sakit dan sembuh ini.
"Dokter bilang enggak apa-apa, tapi pasien merasa apa-apa. Misalnya saya, sebagai seorang dokter, ketika anak demam dan melihat bahwa ini demam yang tidak apa-apa ya tidak membawa anak ke rumah sakit. Berbeda dengan suami yang merasa bahwa demam harus dibawa ke rumah sakit," tuturnya.
"Sehingga, hal ini yang perlu dipahami bersama."
Advertisement