Jakarta - Menurut survei tahunan organisasi kebebasan pers, Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ), jumlah wartawan yang dipenjara akibat pekerjaan mereka mencapai 274 orang di seluruh dunia. Angka itu mencapai rekor tertinggi pada tahun 2020.
Mengutip VOA Indonesia, Jumat (18/12/2020), China, Turki dan Mesir menjadi negara dengan pemenjaraan wartawan terbanyak. Unjuk rasa di AS juga mencatat kasus penahanan jurnalis paling banyak sejauh ini.
Advertisement
Ketika informasi tentang virus baru yang mematikan muncul di China, beberapa wartawan lokal memberitakannya lewat media sosial. Sebagai tanggapan, pemerintah setempat memenjarakan mereka.
Tindakan keras serupa terhadap aksi peliputan oleh wartawan berujung pada rekor pemenjaraan 274 jurnalis di seluruh dunia sepanjang tahun 2020, berdasarkan data Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ).
"Ini rekor terburuk, 274 pemenjaraan, yang disebabkan dua alasan utama. Pertama, reaksi terhadap pandemi kesehatan global, yang diwarnai peningkatan tuduhan berita salah atau berita palsu terhadap wartawan, sebagai balasan atas laporan independen mereka. Kedua, tindakan keras yang terkait (peliputan) aksi unjuk rasa," ujar Courtney Radsch, Direktur Advokasi komite tersebut.
Pandemi COVID-19 Menambah Urgensi Penegakan Keadilan Bagi Jurnalis
Kondisi pandemi menambah urgensi penegakan keadilan bagi wartawan yang ditahan.
Setidaknya dua jurnalis meninggal dunia dalam tahanan akibat COVID-19. Keluarga dari wartawan lainnya, asal Kirgistan, Azimjon Askarov, percaya ia meninggal karena virus tersebut.
"Dalam pandemi kesehatan global seperti COVID-19, hukuman penjara untuk jurnalis bisa menjadi hukuman mati bagi jurnalis, karena (dalam penjara) tidak bisa menjaga jarak sosial. Mereka tidak memiliki akses terhadap alat pelindung diri dan, tentu saja, seperti yang kalian ketahui, penjara adalah katalis penularan," tambah Radsch.
Data komite itu menunjukkan cuplikan sejumlah jurnalis yang dipenjara per 1 Desember. Akan tetapi, lebih banyak wartawan yang ditahan ketimbang dibebaskan sepanjang tahun ini.
Di AS, lebih dari 117 wartawan sempat ditahan atau ditangkap ketika meliput unjuk rasa menentang ketidakadilan rasial atau yang berhubungan dengan pemilihan presiden.
Beberapa di antaranya dilaporkan masih menghadapi dakwaan.
Saksikan Juga Video Ini:
Penangkapan Saat Meliput Unjuk Rasa
Kirstin McCudden, Editor Pelaksana US Press Freedom Tracker, menuturkan, "Unjuk rasa selalu menjadi tempat yang luar biasa berbahaya bagi wartawan dibandingkan liputan lainnya. Ini semua bermula ketika George Floyd tewas pada 25 Mei lalu di Minneapolis, Minnesota. Pada 26 Mei, kita melihat serangan pertama terhadap wartawan yang meliput demonstrasi nasional, dan pada 29 Mei, terjadi penangkapan pertama terhadap wartawan. Sepanjang 2020, kami mencatat penangkapan atau penahanan 117 jurnalis."
Unjuk rasa di Belarus juga meningkatkan penangkapan wartawan, di mana 10 orang ditahan sejak terpilihnya kembali Presiden Belarus Aleksandr Lukshenko. Hasil pemilu itu disengketakan.
Di Ethiopia, yang baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda kebebasan pers yang lebih menjanjikan, beberapa wartawan ditahan karena meliput unjuk rasa di kawasan Tigray.
"Apakah Belarus dan Ethiopia sungguh ingin bergabung dengan China, Turki, Mesir, Arab Saudi, dalam daftar negara yang memenjarakan wartawan karena hasil kerja mereka? Tentu saya harap tidak," tukas Courtney Radsch.
Advertisement
Jumlah Jurnalis yang Dipenjarakan Pecahkan Rekor di Seluruh Dunia
Kebebasan pers sedang diserang di seluruh dunia, dan banyak pihak berwenang berusaha membungkam liputan kritis dengan memenjarakan jurnalis.
Hal itu terungkap dalam data baru dari Komite Bagi Perlindungan Jurnalis (Commitee to Protect Journalists/CPJ).
Tercatat sebanyak 274 jurnalis meringkuk di penjara-penjara seluruh dunia, di mana China, Turki, Mesir, dan Arab Saudi memimpin sebagai pelanggar terburuk. Demikian temuan survei tahunan dari organisasi kebebasan pers. Untuk tahun ke lima berturut-turut lebih dari 250 jurnalis dipenjarakan.
Direktur Advokasi CPJ Courtney Radsch mengatakan kepada VOA bahwa catatan untuk 2020 merupakan yang terburuk terutama karena dua alasan.
"Pertama adalah reaksi terhadap pandemi kesehatan global, yang dihadapi dengan penggunaan semakin besar dari tuduhan berita palsu terhadap jurnalis dan pembalasan terhadap pelaporan independen. Dan lewat penumpasan sehubungan terjadinya protes-protes," kata Radsch.
"Kami menyaksikan jurnalis adalah orang pertama yang ditangkap dan ditahan serta disasarkan selama protes-protes itu berlangsung."
Berdasarkan temuan CPJ, pada 2020 paling sedikit 34 jurnalis di seluruh dunia ditahan dengan tuduhan berita palsu. Mesir mencatat jumlah penahan terbanyak, yaitu 22 dari 27 jurnalis yang dipenjarakan karena tuduhan itu.
Pandemi Virus Corona COVID-19 membuat seruan bagi pembebasan mereka oleh kelompok kebebasan pers semakin mendesak. Setidaknya dua jurnalis meninggal karena tertular COVID-19 di dalam tahanan, yakni di Mesir dan Honduras. Menurut laporan CPJ, keluarga dari jurnalis ketiga di Kyrgyztan, mencurigai Azimjon Askarov meninggal karena mengidap virus itu.
"Dalam pandemi kesehatan global seperti COVID-19, hukuman penjara untuk pekerjaan jurnalisme bisa setara dengan penjatuhan hukuman mati, karena di dalam penjara pembatasan sosial tidak bisa diselenggarakan. Mereka tidak memiliki akses ke peralatan perlindungan pribadi, dan penjara merupakan vektor untuk infeksi itu," kata Radsch.
Infografis Pakai Masker Boleh Gaya, Biar COVID-19 Mati Gaya
Advertisement