Cerita Akhir Pekan: Fenomena Perempuan Memilih Tidak Jadi Ibu

Setidaknya adalah lima alasan para perempuan memilih tak jadi ibu.

oleh Asnida Riani diperbarui 20 Des 2020, 08:30 WIB
ilustrasi perempuan yang memilih tak jadi ibu/Photo by Jessica Joseph on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta - Ekspektasi sosial harusnya tak dipenuhi siapa pun bila berujung pada kecemasan dan minim penghargaan pada diri sendiri. Itulah yang kiranya ingin disuarakan para perempuan yang memilih tak jadi ibu.

Fenomena childfree atau memilih tak punya anak, walau memiliki pasangan, memang masih tersengar asing di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Namun, statistik akan kemunculannya telah menyeruak, setidaknya sejak satu dekade lalu.

Berdasarkan laporan The Guardian yang dilansir Jumat, 18 Desember 2020, profesor psikologi dan direktur laboratorium studi pernikahan dan keluarga, University of Binghamton dan State University of New York menjabarkan, berdasarkan sensus, persentase wanita Amerika usia 15-44 tahun tanpa anak meningkat hanya dalam dua generasi.

Catatannya, yakni dari 35 persen di tahun 1976 jadi 47 persen pada 2010. Menurut Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawatiberdasarkan literatur dan studi yang dilakukan, termasuk di Singapura, 5P adalah alasan para perempuan memilih tak jadi ibu.

"Pergeseran nilai-nilai dalam membangun hubungan. Dewasa ini, semakin banyak orang berhubungan tanpa menikah, atau justru memilih tetap sendiri. Fenomena ini dipengaruhi arus informasi. Perilaku demikian biasa saja di negara lain dan akhirnya mengilhami sebagian masyarakat untuk punya nilai-nilai baru," katanya melalui pesan suara pada Liputan6.com, Kamis, 17 Desember 2020.

ilustrasi perempuan memilih tak jadi ibu/Photo by Icons8 team on Unsplash

Kemudian, P ke-2 adalah psikologi ketidakmampuan jadi orangtua yang sempurna dalam membesarkan anak. Pasalnya, ada semacam tuntutan, khususnya bagi perempuan, untuk jadi sempurna bila sudah punya anak. Ekspektasi inilah yang kemudian menimbulkan tekanan psikologi.

Disusul dengan peningkatan kompetisi ekonomi. Ini membuat orang fokus bertarung di bidang ekonomi, dan punya kekhawatiran bila ada anak, mereka tak bisa memberi kecukupan pada si buah hati.

"Kemudian, pernikahan yang terlambat. Karena sibuk bergelut di kompetisi ekonomi, beberapa orang menikah lebih lama dari yang lain. Padahal, perempuan punya usia yang membuat mereka sulit, bahkan bahaya bila punya anak. Dari situ, sebagian memutuskan untuk tak punya anak," tutur Devie.

Terakhir, pengembangan diri yang luas. Pasangan, termasuk para perempuan, cenderung merasa punya kebebasan melakukan apa pun tanpa harus dibatasi dengan kepentingan anak.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Menghadapi Konsekuensi Sosial

Ilustrasi perempuan memilih tak jadi ibu. Credit: pexels.com/Matthias

Psikolog Anak dan Keluarga, Astrid, menjelaskan bahwa childfree seharusnya jadi kesepakatan kedua belah pihak. Diskusi yang dilakukan bersama pasangan, dalam kasus ini, berujung pada kesepakatan mereka lebih baik tanpa anak.

"Karena suami dan istri saja sebenarnya sudah bisa disebut keluarga, tanpa kehadiran anak," katanya melalui sambungan telepon, Kamis, 17 Desember 2020.

Soal menghadapi konsekuensi sosial atas keputusan tersebut, Astrid menyarankan untuk senantiasa menguasi teknik menenangkan diri dengan latihan napas. Bisa juga dengan menyampaikan keresahan pada pasangan.

"Kadang karena omongan orang lain, kita jadi bimbang sama keputusan sendiri. Kalau begitu, boleh dibicarakan lagi dengan pasangan. Apa kekhawatiran yang dirasakan. Waktu berbeda kadang membuat kondisi juga berbeda," sambungnya.

 


Mengetahui Batasan Personal

ilustrasi perempuan memilih tak jadi ibu/Photo by Briana Tozour on Unsplash

Walau masih jadi topik tabu, publik harus melatih kepekaan, bahkan di keputusan seorang perempuan memilih tak jadi ibu. "Kita butuh lihat relasi seberapa dekat dengan mereka (pasangan memutuskan tak punya anak)," kata Astrid.

Kalau misalnya cukup dekat dan mereka percaya untuk bercerita akan topik ini, yang bisa dilakukan pertama-tama adalah mendengarkan. Kemudian, membantu memberi pertanyaan yang menguji keinginan tersebut secara netral.

"Pertanyaan-pertanyaan ini bermaksud membantu lebih mengenal keinginan mereka," tegasnya. "Dengan memahami situasi mereka, kita bisa jadi pendukung emosial yang tepat."

Peran ini pun, sambung Astrid, tak hanya bisa dilakukan saat setuju dengan keputusan tersebut. Saat kontra, Anda bisa mengomunikasikan pendapat, tanpa perlu memaksakan untuk diikuti. "Jadi saling menghargai pemikiran masing-masing," tuturnya.

Namun, bila tak terlalu dekat dan pasangan ini tak berbagi kisah mereka, publik harusnya santai-santai saja. "Tempatkan diri kita sejauh kita nyaman dan penting untuk mengetahui batasan personal," tandas Astrid.


Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya