Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tengah mempersiapkan diri memasuki era kendaraan listrik pasca diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
Sejumlah persiapan dilakukan pemerintah, mulai dari menyiapkan infrastuktur ketenagalistrikan sebagai penggerak utama kendaraan, menetapkan peta jalan Indonesia 4.0, sampai menebar iming-iming insentif bagi pelaku industri otomotif untuk memproduksi kendaraan dan baterai listrik di dalam negeri.
Advertisement
Dalam rangka menyambut era kendaraan listrik, Forum Wartawan Otomotif Indonesia (Forwot) dan Forum Wartawan Industri (Forwin) menyelenggarakan rangkaian diskusi bertema Urgensi Kebijakan dan Insentif Pemerintah untuk Mendukung Program Mobil Listrik.
Dari kegiatan yang dilaksanakan dalam tiga seri diskusi media dan satu diskusi kelompok pada November sampai dengan Desember 2020, menghasilakn tujuh rekomendasi terkait pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
Pertama, perlu kolaborasi regulator dan pelaku industri. Berdasarkan, Riset Frost & Sullivan mengungkapkan 41 persen pengguna kendaraan di Indonesia akan beralih ke kendaraan listrik karena sudah menyadari manfaatnya dari sisi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Namun untuk bisa menjaga dan mengembangkan minat tersebut, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi. Antara lain harga mobil listrik relatif mahal, ekosistem mobil listrik belum ada, dan masih terbatasnya infrastruktur pengisian daya.
Kebijakan untuk mendukung mobil listrik juga kurang, sementara masyarakat belum memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya mobil listrik. Semua itu berujung pada rendahnya penetrasi mobil listrik ke pasar.
Kedua, satu frekuensi kebijakan lintas instansi pemerintah dan BUMN. Salah satu kunci sukses program mobil listrik di Indonesia berada di ranah kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi antara regulator dalam menciptakan regulasi mobil listrik yang selaras dan saling menunjang satu sama lain. Khususnya dalam menentukan prioritas capaian kendaraan ramah lingkungan terhadap penurunan emisi karbon dari sektor transportasi, efisiensi konsumsi BBM dan polusi noise/bising yang ditimbulkan oleh sektor transportasi.
Ketiga, insentif pajak untuk industri dan konsumen. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menyatakan tingginya harga kendaraan listrik menghambat minat masyarakat untuk membeli mobil listrik.
Untuk meningkatkan minat masyarakat, Kemenperin telah mengusulkan sejumlah insentif fiskal kepada Kementerian Keuangan, mulai dari diskon Pajak Penghasilan (PPh) produsen mobil listrik, sampai keringanan bea masuk bagi komponen yang masih diimpor.
“Bagi konsumen, Kemenperin juga mengusulkan diberikannya diskon pajak 0 persen untuk pembelian mobil listrik,” paparnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Perlu Insentif
Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, insentif diperlukan karena pandemi Covid-19 telah menekan produktivitas pelaku industri dan daya beli masyarakat. Pigovian taxes bisa menjadi salah satu alat untuk mengkoreksi pasar dan memperbaiki kegagalan pasar.
Efisiensi pasar tidak akan terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu kebijakan yang mengaturnya. Intervensi pemerintah digunakan untuk memberikan insentif dan disentif guna mencegah kegagalan pasar tersebut.
Hal senada disampaikan Riyanto, Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Dia mengatakan, tanpa insentif maka tidak akan ada permintaan mobil listrik di Indonesia. Kalaupun ada, jumlahnya akan sangat kecil.
Keempat, proses transisi membutuhkan mobil hybrid. Untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap mobil listrik, dibutuhkan proses edukasi dan sosialisasi. Nissan Indonesia dalam surveinya menemukan, masih banyak pemilik kendaraan yang mempertanyakan faktor keamanan dari baterai mobil listrik terhadap guncangan dan rendaman banjir. Selain itu masih banyak juga yang merasa was-was kehabisan daya listrik saat berkendara.
Oleh karena itu, salah satu strategi dalam membangun permintaan pasar domestik untuk mobil listrik adalah melakukan pengenalan melalui transisi dengan kendaraan hybrid yang menggunakan motor listrik sebagai penggerak satu-satunya roda kendaraan, seperti dilakukan oleh Nissan melalui teknologi e-Power.
Kelima, pastikan kesiapan IKM pendukung. Pemerintah harus dapat memastikan kesiapan industri pendukung khususnya skala kecil menengah (IKM) sehingga tetap dapat berkontribusi di era kendaraan listrik.
GAIKINDO mencatat saat ini kapasitas produksi terpasang industri otomotif nasional mencapai 2,4 juta unit per tahun, sementara utilisasinya baru 54 persen atau 1,3 juta unit per tahun.
Dengan tingkat utilisasi 54 persen, GAIKINDO memperkirakan ada penyerapan 1,5 juta tenaga kerja di sektor hulu sampai hilir industri otomotif dan pendukungnya yang umumnya IKM. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah, sehingga industri otomotif nasional bisa menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja dengan bertambahnya utilisasi.
Keenam, transparansi kuota impor CBU mobil listrik dan Hybrid. Dalam hal ini didorong transparansi kebijakan kuota impor mobil listrik dan hybrid CBU dari pemerintah. Sehingga bisa memberi peluang yang adil bagi semua pemain mobil listrik dalam negeri, serta tercipta persaingan usaha yang sehat dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen.
Ketujuh, gencarkan edukasi masyarakat. Industri otomotif dan regulator diharapkan lebih gencar lagi memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai mobil listrik dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial budaya, teknologi, kesehatan, serta lingkungan hidup.
Advertisement