Cerita Warga Adu Nyawa Berkebun di Zona Merah Gunung Ili Lewotolok Lembata

Suara dan gemuruh terdengar jelas,saat sedang menanam dikebun dekat zona merah gunung api ili Lewotolok

oleh Dionisius Wilibardus diperbarui 20 Des 2020, 07:00 WIB
Mama Sopia Peni bersama sang suami sedang menanam di kebunmereka berdekatan dengan gunung api ili lewotolok di Desa Lamawolo, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. (Liputan6.com/Dionisius Wlibardus)

Liputan6.com, Lembata Gunung Ili Lewotolok di Kabupatem Lembata erupsi sejak 29 November 2020. Hari-hari awal erupsi, kepulan lahar panas bertebaran dan tentu saja mengancam pemukiman warga.

Tak heran, warga dengan radius empat kilometer dari gunung terpaksa mengungsi ke Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata. Hal itu dilakukan juga oleh Sopia Peni (42) sekeluarga.

Kendati demikian, beberapa waktu belakangan, Sopia dan sang suami, Bernadus Berani (54) pulang pergi ke kampungnya di Desa Lamawolo, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata untuk mengurus kebun.

Ditemui pada, Jumad (18/12/2020), Sopia sedang menanam jagung di kebunnya yang hanya berjarak tiga kilometer dari pusat erupsi Gunung Ili Lewotolok. Padahal itu tidak diperbolehkan karena mengancam keselamatan.

Suara gemuruh dan dentuman terdengar jelas. Sopia menampakkan wajah cemas sambil sesekali memandang ke arah Gunung Ili Lewotolok. Pasalnya letak kebun tepat di lereng gunung dan sangat mungkin bebatuan besar di sekitar lereng akan jatuh jika terjadi goncangan.

Di sisi lain kebun, Bernadus sibuk menanam bibit jagung. Sama seperti Sopia, Bernadus juga tetap terjaga saat gemuruh terdengar kuat.

Sang Suami, Bernadus Berani juga nampak sibuk menanam, meski sesekali terlihat panik akibat bunyi gemuruh Gunung Ili Lewotolok yang semakin kuat terdengar.

"Tahun ini kami tanam sudah tidak macam dulu-dulu. Dulu itu sebelum tanam harus tarik tali dan tanam harus lurus, dan nanti tanam juga harus kami atur jarak supaya rapih, musim ini kami tanam cepat kalau tidak maka bahaya, karena kami takut lama-lama maka bahaya juga. Intinya kami harus tanam kalau tidak, kasihan kebun tidak ada hasil apa-apa," katanya dengan nada gelisah.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Setengah Mati demi Ternak dan Kebun

Mereka menanam seadanya saja. Metode tanam yang diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya diabaikan. Dan tak seperti pada masa tanam tahun yang lalu, sekarang mereka hanya menanam jagung.

"Kami tanam hanya jagung saja, kalau dulu ada ubi, kacang dan lain-lain, tapi sekarang tidak bisa lagi. Kalau semua itu kami tanam pasti makan waktu dan lama, jadi biar hanya jagung saja, belum lagi kita dikejar waktu jadi harus cepat dan bisa pulang ke posko Lewoleba," ungkapnya.

Saat petang, keduanya harus bergegas kembali ke posko pengungsian di Lewoleba. Tak ada satu pun kendaraan roda dua melintas di sepanjang jalan itu, yang ada hanya bunyi gemuruh erupsi serta kicauan camar pantai yang setia menjemput sore menuju malam.

Sementara itu, Mama Sopia Peni beserta sang suami Bernadus Berani terlihat sibuk menyimpan peralatan kebun di pondok berukuran 2×3 meter itu, menyusul sang anak yang bergegas duluan menunggu mobil pikap untuk ditumpangi menuju pengungsian di kota Lewoleba.

Sambil menunggu mobil yang ditumpangi tiba, sekali lagi mama Sopia Peni mengeluhkan tentang sejumlah uang yang harus dibayar dari mobil yang mereka tumpangi, serta biaya tambahan untuk mengisi BBM untuk speda motor milik suaminya.

"Kami setiap dua hari harus bayar mobil  Rp10.000. Belum uang bensin motor suami Rp.20.000. Jadi setiap dua hari kami datang tanam dan kasi makan ternak maka sudah Rp40.000, mana kita mengungsi dan tidak ada kerja dapat uang, setengah mati sekali," ungkapnya kalut.

Tidak sampai disitu, perempuan kelahiran 1975 itu juga merasa sedih lantaran masa tanggap darurat bencana diperpanjang lagi sampai tanggal 26 Desember. Hal ini berarti momen Natal bakalan dirayakan di tempat pengungsian.

Berbeda dengan tahun sebelumnya yang dirayakan penuh sukacita dan berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Ini sungguh menyedihkan.

Meski begitu, dirinya bersama sang suami menaruh harapan penuh pada kebaikan alam. Lewotana dan para leluhur, sehingga malapetaka yang selama ini mengintai semua warga di dua kecamatan itu bisa cepat berlalu.

"Kami tahun ini bisa Natal di pengungsian. Kami rasa macam sedih dan lain sekali, tapi mau bagaimana lagi, semua alam punya mau. Kami harap bencana ini berhenti, supaya kami bisa ikut Natal di kampung dan habis itu bisa kerja kebun seperti biasa," dia menuturkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya