10 Kelemahan Pemerintah dalam Menangani COVID-19 Menurut CISDI

Ini 10 kelemahan pemerintah dalam menangani COVID-19 menurut CISDI.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 19 Des 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi Masa COVID-19.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Center  for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut, pemerintah memilih jalan yang berujung pada ledakan wabah COVID-19 yang tidak kunjung usai dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

Salah satu indikator pernyataan tersebut adalah dibukanya kembali aktivitas perekonomian sebelum penilaian situasi wabah COVID-19 dilakukan dengan maksimal melalui test, trace, treat, isolations, dan quarantine.

Padahal, wabah merupakan ancaman sangat serius sehingga dibutuhkan birokrasi, kerangka regulasi, dan anggaran yang kuat untuk menghadapinya. Pernyataan tersebut tercantum dalam Health Outlook 2021.

Dokumen Health Outlook berisikan rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan setiap tahun oleh CISDI sesuai dengan situasi dan tantangan kesehatan yang dihadapi untuk mendukung upaya pembuatan kebijakan kesehatan di Indonesia.

Health Outlook tersebut mencatat beberapa kelemahan pemerintah dalam menangani wabah. Pertama, tidak ditemukan strategi koheren pemerintah dari pusat hingga komunitas dalam penanganan wabah.

“Kebijakan pengendalian bertumpu pada imbauan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), namun tidak dibarengi aksi lacak dan tes yang agresif,” kata Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda dalam rilis Jumat (19/12/2020).

Simak Video Berikut Ini:


9 Kelemahan Lainnya

Kelemahan kedua, penambahan kasus di Indonesia termasuk yang terburuk di kawasan Asia Tenggara, dikarenakan jumlah kasus konfirmasi dan kematian harian terbanyak, tren jumlah kasus harian yang konsisten meningkat, dan jumlah tes per kasus konfirmasi terendah.

Ketiga, Indonesia menyia-nyiakan periode emas penanganan wabah. Hal ini terlihat dari ditetapkannya PP Pembatasan Sosial Berskala Besar pada 1 April 2020, dua minggu setelah penetapan pandemi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) dan bencana nasional oleh Presiden.

Keempat, keterbatasan sumber daya membuat intervensi tes, lacak, dan isolasi tidak berada dalam proporsi ideal. Dengan 270 juta penduduk, Indonesia harus melakukan tes untuk 40 ribu orang per hari untuk memenuhi standar minimum 1 per 1.000 populasi secara konsisten setiap harinya.

Kelima, kegagalan mengidentifikasi orang-orang yang terpapar COVID-19 dengan yang tidak terpapar. Rasio lacak-isolasi (RLI) Indonesia per 9 Desember 2020 adalah 1,62, terpaut jauh dari standar WHO yang memerlukan RLI 30.

Keenam, kurva epidemi COVID-19 Indonesia, baik tingkat nasional maupun sub-nasional, tidak tersedia. Dengan demikian, jumlah kasus konfirmasi tambahan yang dilaporkan tidak mencerminkan jumlah kasus baru harian.

Ketujuh, terjadi tumpang tindih sistem pendataan dari tingkat kecamatan hingga tingkat pusat.

Kedelapan, ambang kapasitas layanan tidak tersedia sehingga transmisi wabah jauh lebih cepat daripada ketersediaan kapasitas pemantauan kebutuhan di layanan kesehatan.

Kesembilan, penanganan COVID-19 terlalu berfokus di rumah sakit dan tidak menempatkan layanan kesehatan primer sebagai pelindung terdepan kesehatan populasi.

Kesepuluh, layanan kesehatan primer tidak pernah menjadi prioritas pelaksanaan surveilans berbasis masyarakat yang menjamin test, trace dan isolate berjalan atas dasar data yang solid.


Infografis 3 Cara Jadi Pahlawan Pelindung Keluarga dari COVID-19

Infografis 3 Cara Jadi Pahlawan Pelindung Keluarga dari Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya