Tidak Sesuai Keinginan dan Kontrol Diri, Kekerasan Seksual adalah Kesalahan Pelaku

Sebagian masyarakat masih memiliki stigma bahwa kekerasan seksual yang terjadi bukan semata kesalahan pelaku melainkan korban pun memiliki kesalahannya sendiri.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 21 Des 2020, 20:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan Seksual Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Sebagian masyarakat masih memiliki stigma bahwa kekerasan seksual yang terjadi bukan semata kesalahan pelaku melainkan korban pun memiliki kesalahannya sendiri.

Menanggapi hal tersebut, penyintas kekerasan seksual Amy Fitria berpendapat bahwa kekerasan seksual adalah kesalahan pelaku. Dalam hal ini, kekerasan seksual terjadi tanpa adanya persetujuan korban dan cenderung membawa penderitaan bagi korban.

“Consent (persetujuan) itu sangat penting,” ujar Amy kepada Health Liputan6.com, Jumat (18/12/2020).

Ia menambahkan, banyak penyintas yang menyalahkan dirinya sendiri atas terjadinya hal tersebut. Namun, ia menekankan jika aktivitas seksual tidak disertai persetujuan dan terjadi diluar kontrol korban maka itu murni kesalahan pelaku.

 “Banyak penyintas yang menyalahkan diri sendiri padahal kejadian itu murni kesalahan pelaku dan di luar kontrol kita.”

Ia sendiri mengaku sempat berada di fase menyalahkan diri sendiri dan bertanya-tanya mengapa kejadian tersebut menimpa dirinya.

“Awalnya aku bertanya-tanya, aku berbuat salah apa dalam hidup aku sampai harus mengalami musibah itu, tapi lama-lama aku belajar menerima bahwa itu bukan salah aku itu kesalahan si pelaku.”

Simak Video Berikut Ini:


Proses Menyadari Kesalahan Pelaku

Sebagian korban kekerasan seksual membutuhkan waktu lama bahkan hingga hitungan tahun untuk menyadari bahwa itu murni kesalahan pelaku.

Dalam proses menyadari bahwa kekerasan seksual itu adalah murni kesalahan pelaku Amy setidaknya membutuhkan  waktu 3 bulan.

“Dalam kurun waktu 6 bulan, katakanlah 3 bulannya itu untuk aku benar-benar meyakinkan diri bahwa itu kesalahan pelaku.”

Proses ini tentunya dibantu oleh masukan-masukan dari keluarga dan teman. Menurutnya, lingkungan yang mendukung memiliki peran yang sangat penting untuk penyembuhan penyintas termasuk dirinya.

Amy menambahkan, setiap penyintas memiliki waktunya masing-masing. Ia berharap para penyintas tidak terlalu tertekan dan mulai terbuka jika sudah benar-benar siap.

Keterbukaan atau sering disebut Speak Up juga tidak harus selalu dilakukan di publik secara luas. Keterbukaan tersebut dapat dimulai dengan bercerita ke keluarga atau kerabat terdekat agar segera mendapat bantuan.


Infografis Kekerasan dalam Pacaran

Infografis Kekerasan dalam Pacaran (liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya