Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan kinerja sektor keuangan dalam negeri masih stabil di tengah pandemi Covid-19. Hal tersebut terlihat dari terjaganya profil risiko, permodalan dan likuiditas yang memadai.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mencontohkan, saat ini rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di perbankan masih terjaga dengan baik yaitu di level 3,15 persen.
Advertisement
"Sektor jasa keuangan kita juga tetap terjaga stabilitasnya, ini ditandai dengan tingkat risiko yang terjaga. Dimana NPL masih di level 3,15 persen," tegasnya saat meresmikan Kantor OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, Senin (21/12/2020).
Selain itu, stabilnya sektor keuangan nasional juga ditunjang oleh rasio permodalan bank atau capital adequacy ratio (CAR) yang tinggi sebesar 23,7 persen pada saat ini. Jumlah itu meningkat dibanding pencapaian kuartal II 2020, yang berada di level 22,5 persen.
Dana pihak ketiga (DPK) saat ini juga mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi mencapai 12,12 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sementara pada kuartal II 2020 yang hanya tumbuh sebesar 7,95 persen.
"Kita tahu kenaikan (DPK) ini akibat banyak dana-dana yang disimpan lembaga pemerintah di bank BUKU IV. Di sisi lain kredit bank juga saat ini mulai tumbuh kendati masih terkontraksi sebesar -0,47 persen secara yoy. Ini sudah cukup untuk. menandakan masih stabilnya sektor keuangan kita," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kebijakan OJK Terbukti Jaga Stabilitas Sektor Jasa Keuangan
Sebelumnya, sektor keuangan Indonesia dinilai masih stabil dan sehat di tengah pandemi COVID-19. Sejumlah indikator utama, mulai dari kualitas aset hingga likuiditas, juga masih terjaga.
Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, hal tersebut tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, sejak awal pandemi ini OJK bergerak cepat dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.
"Kebijakan restrukturisasi kredit menahan lonjakan NPL (non performing loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujar Piter saat dihubungi, Senin (30/11/2020).
Dia melanjutkan, ketahanan di sektor keuangan ini memunculkan kepercayaan pelaku pasar, yang mendorong bangkitnya kembali pasar modal.
Sementara itu, pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar 0,47 persen (yoy) per Oktober 2020. Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha.
Piter melanjutkan, pertumbuhan kredit memang rendah akibat melambatnya sektor riil di tengah pandemi. Sehingga, permintaan kredit menurun drastis.
“Dan perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru,” jelasnya.
Pertumbuhan kredit yang rendah tersebut juga dinilai hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan.
“Ini bukan suatu yang buruk. Justru memaksa bank menyalurkan kredit di tengah pandemi lebih berisiko dan membahayakan perbankan dan sistem keuangan,” kata Piter.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati juga mengatakan, pertumbuhan kredit yang negatif itu menunjukkan kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi.
“Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia,”tutur Nina.
Advertisement