Sri Mulyani: Cukai Rokok Naik untuk Tingkatkan Kesejahteraan Petani Tembakau

Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata 12,5 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Des 2020, 19:32 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata 12,5 persen. Tarif terbaru ini berlaku mulai Februari 2021.

Menteri Keuangan Sri Mulyanu Indrawati mengatakan, kenaikan cukai rokok untuk untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dan buruh industri hasil tembakau (IHT). Terlebih, pemerintah menggunakan 50 persen dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) untuk membantu para petani hasil tembakau.

"Kita juga minta 50 persen dari dana bagi hasil ini sekarang ditujukan bagi petani, buruh tani tembakau maupun buruh rokok. Ini tujuannya adalah mereka bisa menikmati kesejahteraan yang lebih dari hasil cukai hasil tembakau ini," kata dia dalam APBN Kita di Jakarta, Senin (21/12/2020).

Bendahara Negara itu menyebut, dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, Dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakaualokasi DBH CHT untuk bidang kesehatan adalah 50 persen.

Namun mulai tahun depan akan dilakukan perubahan komposisi, yang mana penggunaan DBH CHT sebesar 25 persen untuk bidang kesehatan. Sementara itu 25 persen sisanya akan digunakan untuk law enforcement (penegakan hukum).

"Penggunaan dana bagi hasil cukai 25 persen masih untuk bidang kesehatan, terutama untuk membantu masyarakat yang tidak bisa mengiur JKN (jaminan kesehatan nasional) kita, dan juga untuk meningkatkan prevalensi dari merokok dan stunting sehingga kesehatan masyarakat menjadi lebih baik," paparnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Tidak Wajar

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI), Henry Najoan, menilai tidak wajar keputusan pemerintah menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk produksi sigaret putih mesin (SPM) ataupun sigaret kretek mesin (SKM) Tahun 2021 di masa pandemi Covid-19. Mengingat saat ini kemampuan daya beli masyarakat masih tertekan serta kenaikan CHT ini lebih tinggi dari inflasi nasional.

"Tidak wajar kenaikan ini, sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus," kepada Merdeka.com, Kamis (10/12).

Bos Gappri itu menjelaskan, saat ini industri hasil tembakau (IHT) masih belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai tahun 2020 sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35 persen. Sementara harga rokok yang ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20 persen, tetapi baru mencapai sekitar 13 persen.

"Artinya masih ada 7 persen untuk mencapai dampak kenaikan tarif 2020. Sehingga, perkumpulan GAPPRI mengaku keberatan dengan kenaikan tarif cukai 2021 yang sangat tinggi tersebut," terangnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya