Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong produktivitas industri farmasi dan alat kesehatan. Sebab, sektor ini masih mampu mencatatkan kinerja yang gemilang. Bahkan cenderung mengalami peningkatan akibat membludaknya permintaan selama pandemi covid-19.
Untuk menjawab permintaan yang meningkat, Kemenperin berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian industri obat dan alat kesehatan di dalam negeri yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia.
Advertisement
“Kementerian Perindustrian bertekad untuk mewujudkan kemandirian industri obat dan alat kesehatan di Indonesia, serta mendorong sektor ini agar dapat menjadi pemain utama dan tuan rumah di negeri sendiri,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil, Kemenperin, Muhammad Khayam, dikutip Selasa (22/12/2020).
Khayam memaparkan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
Tujuan Inpres tersebut adalah untuk menciptakan kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan nasional. Sehingga masyarakat dapat memperoleh obat dengan mudah, terjangkau, dan berkesinambungan.
“Saat ini, pemerintah mendorong industri farmasi nasional untuk terus membangun struktur yang lebih dalam dan terintegrasi, sehingga mampu menghasilkan produk-produk dengan inovasi baru dan bernilai tambah tinggi,” kata dia.
Guna mencapai sasaran itu, Khayam menguraikan sejumlah hal yang diperlukan. Diantaranya, iklim usaha yang kondusif yang didukung ketersediaan bahan baku dan penguasaan teknologi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tekan Impor Bahan Baku
Kemenperin juga tengah berupaya menekan angka impor untuk bahan baku obat sintesis (kimia). Diantaranya melalui perhitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) produk farmasi yang tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi.
Muhammad Khayam menjelaskan, penghitungan nilai TKDN produk farmasi yang berdasarkan pada processed based, dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku Active Pharmaceuticals Ingredients (API) sebesar 50 persen, proses penelitian dan pengembangan sebesar 30 persen, proses produksi sebesar 15 persen serta proses pengemasan sebesar 5 persen.
“Metode tersebut diharapkan akan dapat mendorong pengembangan industri bahan baku obat (BBO), serta meningkatkan riset dan pengembangan obat baru. Selain itu, dapat mengurangi impor bahan baku obat dan mendorong kemandirian bangsa di sektor kesehatan,” imbuhnya.
Kebijakan TKDN di sektor farmasi ini diyakini bakal berkontribusi terhadap akselerasi program pengurangan angka impor yang ditargetkan mencapai 35 persen pada tahun 2022. Apalagi, pasar dalam negeri sangat potensial untuk berbagai produk farmasi dan alat kesehatan dengan kandungan lokal tinggi.
“Potensi pasar yang besar bagi industri farmasi ini juga menjadi peluang untuk menarik para investor untuk bisa mengembangkan bahan baku obat di Indonesia,” ujar Khayam.
Adapun langkah strategis yang sedang dijalankan Kemenperin, yakni membangun dan mengembangkan industri bahan baku obat di dalam negeri serta mengembangkan industri yang menghasilkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) berbahan tanaman herbal dalam negeri.
“Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan TKDN farmasi, sehingga dapat memaksimalkan penggunaan obat dalam negeri melalui pengadaan obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” kata Khayam.
Khayam menyebutkan, secara rerata TKDN dari alat kesehatan, hingga saat ini sudah mencapai 25-90 persen. “Tentunya ini kabar positif, namun kita harus menargetkan terhadap peningkatan dari TKDN alat kesehatan ini di masa yang akan datang,” tandasnya.
Advertisement