Harapan Penyintas Terkait Perlindungan dan Penanganan Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia

Bagi sebagian penyintas kekerasan seksual, proses hukum yang perlu dilalui tak selalu lancar. Ada berbagai hal yang menjadi kendala dalam menjebloskan pelaku ke sel tahanan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 23 Des 2020, 21:00 WIB
Masa yang tergabung dalam "Gerak Perempuan" melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa (7/7/2020). Dalam aksinya mereka menuntut menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Bagi sebagian penyintas kekerasan seksual, proses hukum yang perlu dilalui tak selalu lancar. Ada berbagai hal yang menjadi kendala dalam menjebloskan pelaku ke sel tahanan.

Menurut ahli hukum dari Universitas Indonesia Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si, jika terjadi kekerasan seksual dalam pacaran (KDP) maka proses hukumnya dapat dihadang oleh beberapa kendala. Kendala pertama yang dapat dirasakan adalah pada proses pembuktian.

Berbeda dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, kasus KDP cenderung sulit dibuktikan karena dalam pacaran tidak ada dokumen resmi seperti surat nikah.

Proses pembuktian yang sulit tidak hanya terjadi pada kasus kekerasan dalam pacaran melainkan pada kasus kekerasan seksual dari orang yang tidak dikenal. Hal ini terjadi pada salah satu penyintas kekerasan seksual, Amy Fitria.

Menurutnya, kurangnya bukti menjadi permasalahan utama dalam proses hukum yang dijalani. Beruntung ia mendapatkan bantuan dan bukti berupa tangkapan layar kamera pengintai berisi gambar pelaku.

Namun, selama pelaku belum diringkus, lebih kurang satu tahun lamanya, ia merasa tidak tenang ketika di dalam maupun di luar rumah.

“Rasanya seperti ada yang mengawasi,” ujar Amy kepada Health Liputan6.com Jumat (18/12/2020).

Maka dari itu, ia berharap agar seluruh penyintas kekerasan seksual dimudahkan dalam proses hukumnya dan diberi perlindungan penuh.

“Secara hukum saya berharap penyintas kekerasan seksual diberi perlindungan sepenuhnya dan kasusnya ditangani dengan serius.”

Simak Video Berikut Ini:


Harapan dari Aspek Sosial

Harapan berikutnya adalah harapan dari aspek sosial. Amy mengatakan, stigma masyarakat terkait korban kekerasan seksual masih negatif.

Sebagian orang menganggap kekerasan seksual terjadi karena ada kesalahan juga dari korban. Padahal, aktivitas sosial yang terjadi tanpa adanya persetujuan termasuk dalam kategori kekerasan seksual.

Jika dalam kasus pembunuhan dan pencurian fokusnya pada pembunuh dan pencuri, namun pada kekerasan seksual masyarakat lebih fokus pada korbannya, kata Amy.

“Secara sosial aku berharap bahwa menyalahkan korban dihentikan jadi fokusnya lebih ke pelakunya ketimbang ke penyintasnya.”

Sebaliknya, masyarakat memiliki peran untuk memberi dukungan dan empati kepada penyintas kekerasan seksual agar ia bisa keluar dari trauma dan menjalani kehidupannya dengan normal.


Infografis Kekerasan dalam Pacaran

Infografis Kekerasan dalam Pacaran (liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya