Hindari Bosan dan Sedih Berkepanjangan, Jaga Kesehatan Jiwa Selama Pandemi COVID-19

Rasa bosan dan kemampuan mengendalikan diri merupakan prediktor terhadap ketaatan dalam menjalankan protokol COVID-19 menjaga jarak, ditambah dengan adanya penerapan regulasi yang konsisten

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 24 Des 2020, 09:00 WIB
Ilustrasi bosan. (Gambar oleh Anastasia Gepp dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Para pakar sepakat bahwa menjaga kesehatan jiwa juga penting di masa pandemi COVID-19. Menghindari rasa bosan dan mencegah rasa sedih serta kesepian yang berkelanjutan, juga menjadi salah satu cara menjaga kesehatan mental.

Dokter spesialis kejiwaan Gina Anindyajati, dalam webinar pada Senin (22/12/2020), mengatakan bahwa ada idiom yang menyebut bahwa masalah-masalah kemanusiaan berakar dari ketidakmampuan seseorang berdiam diri di ruangan sendirian.

"Situasi pandemi ini memaksa kita untuk berdiam diri di ruangan masing-masing dan sendirian," kata Gina.

Dalam studi yang dilakukan Gina bersama rekan-rekannya di Tim Sinergi Mahadata pada lebih dari dua ribu responden, rasa bosan menjadi masalah yang paling banyak dilaporkan.

Sebanyak 39,4 persen responden menyatakan setuju dan 26,9 persen sangat setuju bahwa mereka lebih merasakan bosan di masa pandemi, dibandingkan dengan sebelumnya.

"Lebih dari separuh responden merasa bosan, lebih bosan dibandingkan sebelum pandemi," kata Gina dalam pemaparannya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

 

 

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini


Rasa Cemas dan Sedih

Ilustrasi bosan. (Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay)

Selain itu, 41,4 persen responden setuju dan 15,6 persen responden sangat setuju bahwa mereka merasa lebih cemas di masa pandemi COVID-19, jika dibandingkan kondisi sebelumnya.

"Perasaan cemas ini juga didampingi dengan perasaan sedih yang dirasakan hampir 40 persen responden. Kita tahu bahwa cemas dan sedih ini dirasakan sejak awal pandemi dan angkanya konsisten sampai dengan sekarang."

Gina mengatakan, apabila kesedihan dan kecemasan terjadi berkepanjangan, hal ini dapat menjadi masalah kesehatan jiwa tersendiri di masa depan dan mempengaruhi produktivitas.

"Begitu juga dengan adanya rasa bosan, ini menjadi salah satu pendorong lahirnya rasa cemas dan kesedihan," kata Gina.

Terkait perasaan kesepian dan mudah marah, survei tim peneliti mengungkapkan bahwa lebih banyak responden yang mengatakan hal itu tidak berubah sejak sebelum pandemi.


Upaya Menjaga Kesehatan Mental

Ilustrasi bosan. (Photo by Magnet.me on Unsplash)

Gina mengatakan, rasa bosan dan kemampuan mengendalikan diri merupakan prediktor terhadap ketaatan dalam menjalankan protokol menjaga jarak, ditambah dengan adanya penerapan regulasi yang konsisten.

Selain itu, untuk mengatasi kebosanan, cari atau ciptakan hal yang menarik di kehidupan sehari-hari dan lingkungan terdekat.

"Hal yang menyenangkan, hal yang baru, tidak harus selalu jauh, tidak harus selalu di luar kota, tapi kita bisa mengupayakannya di lingkungan terdekat kita melalui hal-hal yang sebelumnya kita tidak fokus ke sana, tapi kita alihkan fokus kita ke sana."

Selain itu, kesepian juga perlu diubah menjadi rasa nyaman dengan diri sendiri, dengan mencari atau membuat sesuatu untuk menemani. Gina mengingatkan, hal ini tidak harus dalam bentuk seseorang, tetapi sesuatu yang juga bisa membuat kita tenang.

"Penting juga untuk kita meningkatkan kualitas relasi interpersonal dengan orang di sekitar, supaya kita bisa merasa nyaman dengan lingkungan tempat kita berada, supaya tidak jauh-jauh mencari sesuatu yang baru," ujarnya.


Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya