Liputan6.com, Jakarta - Di masa pandemi Corona Covid-19, masyarakat diwajibkan untuk menerapkan physical distancing atau menjaga jarak antar satu dengan yang lain. Untuk itu, beberapa sekolah di Indonesia, menghentikan proses belajar-mengajar tatap muka. Sebagai gantinya, siswa belajar di rumah secara online.
Baca Juga
Advertisement
Pembelajaran jarak jauh hingga kini masih diterapkan berbagai sekolah. Selain sekolah, bimbingan belajar atau bimbel juga dilakukan secara daring.
Seperti halnya Eye Level, lembaga pendidikan asal Korea Selatan yang fokus di matematika dan bahasa Inggris, ini melakukan pembelajaran peserta bimbel secara online.
“Saat ini memang 95 persen dilakukan dengan online, sedangkan sudah lima persen offline atau tatap muka dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Itupun hanya di wilayah yang zona hijau,” kata CEO Daekyo Indonesia, Cha Seong Hoon dalam siaran persnya yang diterima Selasa (22/12/2020).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Latihan Berpikir Kritis Matematika
Cha Seong Hoon mengatakan, meski pembelajaran dilakukan online, namun tidak mengurangi kualitas pembelajaran yang dilakukan. Penyesuaian dilakukan, dengan tetap mempraktikkan cara-cara belajar latihan berpikir kritis matematika.
Dikatakannya, pendidikan di Eye Level tetap mengusung kemampuan berpikir kritis (critical thinking) untuk membantu anak berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah melalui latihan soal. Ada beberapa fokus dalam latihan berpikir kritis matematika, misalnya pola hubungan, geometri, pengukuran, pemecahan soal, serta penalaran.
"Misalnya untuk pola dan hubungan, siswa akan diajak mengembangkan pengetahuan dasar fungsi dengan mempelajari berbagai pola untuk objek, bilangan dan bentuk. Sementara untuk pemecahan soal, siswa akan belajar delapan strategi pemecahan soal, mulai dari pengenalan pola, analisis data, menggambar diagram, uji coba, dan sebagainya," tambahnya.
Advertisement
Kemampuan Matematika Pelajar Indonesia di Peringakt ke-63 dari 72 Negara
Pola pendekatan yang berbeda dalam belajar matematika ini diharapkan dapat membuat anak-anak tidak menganggap mata pelajaran ini sebagai momok.
Menurut Cha Seong Hoon, selama ini banyak pelajar di Indonesia, merasa takut kepada mata pelajaran matematika. Seperti terlihat dari hasil Survei Programme for International Student Assessment (PISA).
Studi yang dilakukan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) terhadap anak usia 15 tahun pada 2015, menempatkan kemampuan matematika pelajar Indonesia ada di peringkat ke-63 dari 72 negara. Peringkat itu terpaut jauh dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam di peringkat ke-12 dan Singapura di peringkat pertama.