Liputan6.com, Jakarta - Duncan Edwards baru berusia 21 tahun ketika meninggalkan dunia. Bocah ajaib dari jalanan Black Country, kisah tragisnya menjadi salah satu penyesalan terbesar di sepak bola.
Talenta Edwards tidak perlu diragukan. Dia bahkan membuat legenda Inggris Bobby Charlton merasa inferior.
Advertisement
Di usia 18 tahun dan 183 hari, Edwards sudah membela tim nasional dan membantu tanah kelahiran menghancurkan musuh bebuyutan Skotlandia 7-2.
Kehadiran kala itu menggemparkan dunia. Dia dianggap menjadi pesepak bola lengkap yang mampu bersinar di setiap posisi.
Sayang, dunia tidak akan mengetahui kemampuan Edwards sebenarnya. Dia meninggal akibat kecelakaan pesawat yang menewaskan mayoritas pemain Manchester United (MU) di Munich, Jerman, tahun 1958.
Saksikan Video MU Berikut Ini
Talenta Berbakat
Pada 1952, Edwards mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuanya untuk pergi ke Manchester. Dia tergoda pinangan Matt Busby yang membuatnya menolak tawaran dua klub lokal, Wolverhampton Wanderers atau Aston Villa.
Edwards dengan cepat beradaptasi di Old Trafford. Sosok kelahiran Dudley ini melakoni debut di tim utama berusia 16 tahun dan 185 hari melawan Cardiff City.
Sejak itu kariernya melesat, mulai menjadi pelapis hingga bagian tim utama. Kontribusinya membantu MU menjadi juara Inggris 1955/1956 dan 1956/1957.
Edwards juga berkesempatan memenangkan Piala Champions setelah membantu MU melangkah ke semifinal 1957/1958.
Advertisement
Tragedi Munich
Namun, kecelakaan fatal terjadi pada 6 Februari 1958 dalam perjalanan pulang sehabis pergi ke Yugoslavia untuk menghadapi Red Star Belgrade.
Sebanyak tujuh pemain tewas di bandara. Edwards masih bernyawa dan dilarikan ke Rumah Sakit Rechts der Isar Hospital dengan luka patah kaki dan tulang rusuk serta ginjal rusak.
Dokter yang menangani yakin Edwards bisa pulih, meski ada yang ragu dia bisa bermain sepak bola lagi.
Edwards mendapat perawatan cuci darah. Dalam keadaan ini, dia sempat bertanya kepada asisten manajer MU kala itu, Jimmy Murphy, tentang pertandingan melawan Wolverhampton. Edwards ingin bermain.
Pada 14 Februari, kondisinya meningkat. Namun, lima hari berselang, situasi berubah 180 derajat. Setelah dua pekan berjuang, Edwards akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 21 Februari dini hari waktu setempat.
Ibarat Tank
Dikenal sebagai gelandang bertahan, Edwards dipercaya bisa mengisi setiap posisi selain kiper. Kemampuannya tersebut terbukti di satu laga. Dia memulai pertandingan sebagai striker, tapi mengakhiri laga di jantung pertahanan.
Aset terbesar Edwards adalah kekuatan fisik dan otoritasnya di lapangan. Sebuah kombinasi luar biasa mengingat usianya yang masih muda.
Stanley Matthews mendeskripsikan Edwards seperti batu di laut yang mengamuk. Sementara Bobby Moore menyamakannya dengan Rock of Gibraltar.
Keras dalam melakukan tekel serta tendangan kencang, Edwards mendapat julukan Big Dunc dan The Tank selama bermain.
Advertisement
Terbaik Sepanjang Masa
Pujian bagi Edwards juga datang dari Charlton. Dia menyebut kematiannya sebagai tragedi besar yang menimpa MU dan sepak bola Inggris.
Terry Venables mengklaim adalah Edwards, bukan Moore, yang bakal mengangkat trofi Piala Dunia sebagai kapten pada 1966 jika dirinya masih hidup.
Sementara Tommy Docherty menyebut Edwards bakal menjadi pemain sepak bola terbaik sepanjang masa. "George Best pemain istimewa, begitu pula Pele dan (Diego) Maradona. Tapi di pikiran saya, Duncan jauh lebih baik dalam hal teknik. Kemampuannya lengkap," katanya.