Liputan6.com, Jakarta Setiap penyandang disabilitas membutuhkan aksesibilitas dalam berbagai aspek tak terkecuali pada urusan hukum.
Aksesibilitas hukum bagi penyandang disabilitas tidak hanya terkait akses fisik tapi juga aspek non fisik.
Advertisement
Menurut Koordinator Advokasi Jaringan Lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti, ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan akses hukum bagi penyandang disabilitas.
Kelima hal tersebut adalah aksesibilitas fisik, aksesibilitas non fisik, reasonable akomodasi, transportasi, dan komunikasi lingkungan.
“Yang pertama terkait aksesibilitas fisik, ini tentang infrastruktur fisik bangunan, sarana prasarana, dan transportasi,” ujar Purwanti dalam saluran YouTube Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Jumat (25/12/2020).
Dengan kata lain, bagaimana bangunan-bangunan layanan peradilan itu menjadi aksesibel. Mulai dari kepolisian, peradilan, pengadilan agama, pengadilan umum, sampai ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan semuanya.
“Kemudian juga lembaga-lembaga layanan, seperti kalau untuk perempuan P2TP2A, kalau untuk anak LP-PAR, rumah perlindungan dan lain sebagainya.”
Hal kedua adalah aksesibilitas non fisik yang berkaitan dengan informasi. Baik informasi tentang proses, tahapan, langkah hukum yang harus dilalui maupun terkait panduan lapor, panduan persidangan, dan panduan lainnya.
Simak Video Berikut Ini:
Reasonable Akomodasi hingga Akses Komunikasi
Hal ketiga adalah reasonable akomodasi. Yakni aksesibilitas yang sangat-sangat khusus sesuai dengan disabilitasnya.
Contohnya, penyandang tuli dalam persidangan membutuhkan juru bahasa isyarat (JBI). JBI pun perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyandang tuli apakah menggunakan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI), Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), bahasa ibu, atau membaca gestur.
“Kita harus peka melihat kebutuhan terkait dengan JBI yang dia butuhkan seperti apa.”
Beda lagi dengan penyandang disabilitas mental atau intelektual. Bisa saja disabilitas ini membutuhkan berbagai alat bantu dan alat peraga untuk mengikuti persidangan.
“Seperti boneka, gambar, kalender untuk mengingat. Ini kebutuhan yang sangat-sangat spesifik tergantung disabilitasnya dan itu akan membantu untuk bisa menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.”
Hal keempat adalah layanan transportasi yang memungkinkan penyandang disabilitas dapat dengan mudah pulang pergi dari tempat satu ke tempat lain guna memperlancar urusan hukumnya.
“Kadang-kadang beberapa disabilitas tidak dapat menggunakan transportasi umum contohnya bagi difabel yang harus membawa tempat tidurnya ke dalam persidangan, ini adalah kebutuhan dan bagaimana kita memenuhinya.”
Hal kelima adalah komunikasi dengan lingkungannya. Ini memerlukan aksesibilitas juga agar difabel bisa mengutarakan dengan jelas apa yang terjadi pada dirinya.
Terkadang, difabel disalahkan baik oleh keluarga dan pihak lain namun ia tidak bisa membela diri karena memiliki keterbatasan komunikasi. Maka, dibutuhkan pihak yang mengerti dan mampu menjembatani komunikasinya.
Advertisement