Liputan6.com, The Conversation - Rumah sudah menjadi kebutuhan utama bagi mereka yang sedang membangu hidup. Baik mereka yang sudah berkeluarga, maupun yang masih hidup sendiri, membeli rumah menjadi impian banyak orang.
Namun, bagi anak muda yang masih meniti karir tentu mempunyai penghasilan yang terbatas. Dampak dari ini, tentunya menjadi kesulitan dalam hal membeli rumah khususnya di ibu kota Jakarta yang sudah terlampau mahal.
Advertisement
Melansir The Conversations, Selasa (5/1/2021), dalam sebuah survei menemukan bahwa harga rumah yang tidak terjangkau dan pendapatan yang tidak mencukupi menjadi 2 hambatan utama yang menghalangi kaum dewasa muda di Jakarta untuk memiliki rumah.
Tantangan kaum muda untuk memiliki rumah
Berdasarkan survei yang dilakukan kepada 99 orang di Jakarta berusia di antara 25 sampai 30 tahun, menikah dan menjadi orang tua adalah dua alasan utama yang mendorong dewasa muda di Jakarta untuk memiliki rumah.
Sedangkan membeli rumah sebagai bukti pencapaian kesuksesan dalam berkarier merupakan pendorong yang paling tidak penting.
Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan rumah lebih didorong oleh faktor pribadi yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dari pada berkaitan dengan harga diri atau pencapaian status sosial.
Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan dasar ini tidaklah mudah bagi kaum dewasa muda.
Terbatasnya pasokan tanah dan perumahan, ditambah dengan kenaikan jumlah penduduk, mengakibatkan harga rumah di Jakarta meningkat sehingga tantangan kepemilikan rumah menjadi semakin tinggi.
Menurut data terbaru di tahun 2019, rata-rata tingkat kepemilikan rumah di Indonesia cukup tinggi yaitu 80,07 persen. Namun, tingkat kepemilikan rumah di Jakarta hanya 48,33 persen.
Rasio ini adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia, seperti di provinsi Banten dan Jawa Barat yang memiliki persentase diatas 80 persen. Jika tidak diatasi, hal ini berpotensi menimbulkan lebih banyak masalah sosial dan ekonomi.
Urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota yang pesat karena faktor ekonomi dan politik menyebabkan Jakarta menjelma menjadi megacity atau kota dengan lebih dari 10 juta penduduk.
Alhasil, Jakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi dengan 16.704 jiwa per kilometer persegi atau setara dengan 118 kali lipat bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia, yang hanya 141 jiwa per kilometer persegi hasil proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia.
Sesuai dengan hukum permintaan dan persediaan maka ketersediaan rumah yang sedikit berbanding dengan permintaan yang banyak menyebabkan harga rumah menjadi mahal di Jakarta.
Menurut data Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, menunjukkan harga tanah yang mempengaruhi harga rumah di Jakarta setiap tahun mengalami kenaikan sekitar 18%.
Tentunya jumlah pendapatan mempunyai peran penting bagi orang untuk memiliki rumah. Tanpa dukungan dari keluarga atau kerabat, kepemilikan rumah menjadi tantangan yang sulit dilalui oleh banyak kaum muda.
Responden survei tercatat menerima gaji antara Rp 5 sampai 10 juta per bulan. Sedangkan harga rata-rata rumah di Jakarta mencapai Rp 14,5 juta per meter diikuti dengan wilayah Tangerang yang mencapai Rp 13,5 juta per meter pada tahun lalu.
Ini berarti rumah berukuran 30 meter persegi setidaknya akan berharga Rp 435 juta dan dengan uang muka 20 persen atau Rp 87 juta. Jika yang bergaji Rp 5 juta/bulan menyisihkan 30 persen penghasilannya atau Rp 1,5 juta/bulan, maka mereka harus menabung hampir lima tahun hanya untuk uang muka saja.
Ini pun dengan asumsi tidak ada kenaikan harga rumah yang besar setiap tahunnya, yang tentunya tidak akan terjadi. Pada triwulan kedua tahun lalu saja kenaikan harga rumah di Jakarta mencapai 2 persen.
Keadaan ini tentunya sangat tidak kondusif bagi kaum muda untuk memiliki rumah.
Bank Dunia juga pernah melaporkan adanya penundaan yang signifikan dalam hal kepemilikan rumah bagi warga Indonesia berusia antara 30 dan 45 tahun.
Fakta ini diperkuat dengan penelitian yang menyebutkan bahwa ketidakmampuan dewasa muda untuk membeli rumah akan menjadi tantangan untuk mengentaskan masalah sosial dan ekonomi yang semakin serius di masa depan.
Tantangan lain yang dikemukakan oleh responden kami adalah pasokan rumah yang terbatas, kredit bank yang tidak terjangkau, uang muka yang terlalu besar, dan kepemilikan hutang.
Saksikan Video Ini
Solusi yang bisa dilakukan
Pemerintah dan sektor swasta memiliki peran yang sangat penting untuk membantu dewasa muda mengakses kepemilikan rumah.
Peningkatan pasokan perumahan yang terjangkau melalui intervensi pemerintah adalah salah satu solusi yang paling memungkinkan saat ini.
Karena jumlah lahan yang terbatas di Jakarta, satu-satunya cara untuk menambah pasokan rumah adalah dengan membangun ke atas dengan rumah susun atau apartemen.
Pemerintah daerah perlu memperbaharui master plan Jakarta, termasuk Koefisiensi Lantai Bangunan (KLB) atau angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai bangunan yang dapat dibangun dengan luas lahan, untuk mengakomodasi kepadatan penduduk yang lebih tinggi sehingga konstruksi bangunan tinggi sebagai tempat tinggal bisa diperbanyak.
Pemerintah kemudian perlu bekerja sama dengan sektor swasta dengan memberikan insentif dan kemudahan perizinan sehingga pasokan rumah dengan harga terjangkau bisa ditingkatkan secara bertahap.
Dengan penerapan solusi ini, diharapkan akan ada semakin banyak kaum muda di Jakarta yang mampu membeli rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Advertisement