Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak tergelincir dari level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta). Pelemahan harga minyak ini dipicu pelemahan pasar saham di tengah kekhawatiran atas hasil pemilihan Senat AS di Georgia.
Selain itu, harga minyak juga tertekan setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC dan beberapa sekutu seperti Rusia yang yang dikenal dengan OPEC+ belum bisa memutuskan apakah akan mengurangi produksi atau meningkatkannya.
Advertisement
Grup OPEC+ akan kembali melakukan pertemuan pada Selasa waktu setempat setelah belum adanya kesepakatan pada Senin.
Mengutip CNBC, Selasa (5/1/2021), harga minyak mentah berjangka Brent turun 50 sen atau 1,0 persen menjadi USD 51,30 per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun 1,85 persen atau 90 sen menjadi USD 47,62 per barel.
Di awal sesi, kedua harga minyak yang menjadi patokan tersebut sempat naik USD 1 per barel dengan WTI mencapai level tertinggi sejak Februari dan Brent tertinggi sejak Maret.
Indeks saham S&P 500 dan Dow Jones turun dari level tertinggi pada hari perdagangan pertama 2021 karena Presiden Donald Trump melakukan perjalanan ke Georgia dalam upaya untuk menjaga Senat AS di tangan Partai Republik.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Perundingan OPEC+
Sedangkan perundingan OPEC+ terpecah pada hari Senin. Beberapa negara khawatir rencana peningkatan produksi pada Februari akan memukul harga karena saat ini tengah terjadi penguncian di beberapa negara akibat virus Corona baru.
Sementara Rusia dan Kazakhstan yakin bahwa telah terjadi pemulihan permintaan sehingga perlu adanya peningkatan produksi.
Sumber dari OPEC+ mengatakan bahwa negara-negara produsen minyak ini akan kembali melakukan pembahasan pada Selasa.
OPEC+ telah meningkatkan produksi sebesar 500 ribu barel per hari (bpd) pada bulan ini. Beberapa anggota melihat apakah perlu dilanjutkan peningkatan tersebut pada Februari mengingat meningkatnya pandemi Covid-19.
“Peluncuran vaksin belum sukses di sebagian besar dunia dan itu bukan pertanda baik untuk kasus kenaikan produksi minyak sebesar 500 ribu barel per hari lagi pada Februari,” kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York.
Advertisement