Liputan6.com, Jakarta - Baterai zinc-air diprediksi menjadi teknologi penyimpanan energi yang menarik di masa depan karena ia berkinerja tinggi, ramah lingkungan, aman dan hemat biaya.
Namun, baterai zinc-air konvensional saat ini memiliki masalah teknis, seperti ketidakstabilan kimia yang tinggi, serta reaksi parasit yang berakar pada penggunaan elektrolit alkali yang menyebabkan ireversibilitas elektrokimia.
Baca Juga
Advertisement
Terkini, penelitian yang dipimpin oleh Dr. Wei Sun dari MEET Battery Research Center di University of Muenster telah mengembangkan kimia baterai baru untuk baterai zinc-air yang mengatasi masalah-masalah itu.
"Elektrolit non-alkali inovatif kami membawa bahan kimia zinc peroxide (ZnO2) / O2 reversibel yang sebelumnya tidak diketahui ke dalam baterai zinc-air," ujar Sun dikutip dari rilis pers via Eurekalert, Rabu (6/1/2021).
Mereka menerbitkan hasil rinci proyek penelitian mereka di jurnal "Science", yang melibatkan peneliti dari Fudan University di Shanghai, University of Science and Technology di Wuhan, serta University of Maryland dan Laboratorium Penelitian Angkatan Darat AS.
Stabil selama 320 siklus
Dibandingkan dengan elektrolit alkali kuat konvensional, kata Sun, elektrolit berair non-alkali yang baru dikembangkan ini memiliki beberapa keunggulan, seperti zinc anode digunakan lebih efisien dengan stabilitas kimia lebih tinggi dan reversibilitas elektrokimia. Elektrolit baru ini didasarkan pada garam zinc trifluoromethanesulfonate.
Pada akhirnya, baterai zinc-air baru ini dapat beroperasi dalam jangka panjang secara stabil selama 320 siklus dan 1.600 jam di bawah atmosfer udara ambien.
Advertisement