Liputan6.com, Jakarta - Dunia masih disibukkan dengan COVID-19 yang sudah menjadi pandemi. Bahkan kekhawatiran bertambah dengan munculnya mutan baru. Di dunia ini, sejumlah penyakit pernah menjadi begitu menakutkan di masanya, namun sejarah menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan bisa mengatasinya. Meski ancaman epidemi belum juga menghilang.
Dikutip Science The Devinitive Visual Guide, Adam Hart-Davis, seorang peneliti dan penulis mengatakan mikroba berevolusi dengan cepat, sehingga pertempuran untuk mengendalikan penyakit tersebut terus berlanjut.
Advertisement
"Ketika populasi manusia bertambah dan orang-orang berpindah ke seluruh dunia dengan lebih cepat, wabah baru mengancam," katanya.
Menurut Davis, penyakit infeksi disebabkan berbagai macam mikroba parasit dan virus, dan penyakit kuno masih bisa menyerang manusia dalam proporsi epidemi. Seperti diketahui epidemi ini wabah yang menyebar di area geografis yang lebih luas.
Pada tahun 2010 gempa bumi di Haiti mengakibatkan wabah kolera yang menewaskan lebih dari 9.000 orang dan epidemi kolera terburuk dalam sejarah. Tetapi penyakit baru juga muncul, karena mikroba merespons lingkungannya dengan berevolusi, sama seperti jenis organisme hidup lainnya.
Bakteri, berkembang biak dengan sangat cepat dan dalam jumlah besar, dan dapat berkembang pesat sebagai respons terhadap lingkungan yang berubah termasuk adanya antibiotik.
Namun, resistensi juga berkembang di banyak kelompok bakteri lain, sebagian karena penggunaan antibiotik yang berlebihan, yang tidak hanya diberikan dalam jumlah besar kepada pasien dengan infeksi bakteri, tetapi ditambahkan ke pakan ternak untuk meningkatkan pertumbuhan hewan.
Saksikan Juga Video Berikut Ini
Resistensi Antibiotik, Wabah Influenza, dan HIV
Pada 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa resistensi antibiotik telah menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat.
Sementara untuk penyakit akibat virus, ini tidak seperti bakteri - tidak terdiri dari sel, jadi tidak dapat diobati dengan antibiotik, yang menargetkan mekanisme seluler. Sebaliknya, partikel-partikel kecil ini menyerang sel-sel tubuh inang dan menyabot fungsi biologisnya.
"Obat yang membunuh virus dirancang untuk mengganggu siklus replikasi virus, tetapi seperti bakteri-virus dapat berevolusi dan beberapa mutasinya bisa sangat mematikan," jelas Davis.
Wabah influenza pada tahun 1918 menyebabkan epidemi global (pandemi). Penyakit ini dengan cepat membunuh lebih dari lima persen populasi dunia. Virus itu dengan cepat berpindah dari satu spesies ke spesies lainnya.
HIV (human immunodeficiency virus) yang diperkirakan telah berevolusi pada awal 1900-an dari virus yang menginfeksi kera Afrika yang kemungkinan akibat manusia mengonsumsi daging hewan liar.
HIV pertama kali didokumentasikan di Kongo pada tahun 1959, tetapi virus tersebut belum diketahui hingga tahun 1970-an. Pada saat ini penyakit tersebut sudah menyebar ke seluruh dunia dan penyakit yang ditimbulkannya - Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) - telah meningkat pada kelompok berisiko tinggi di AS.
Pada sekitar tahun 1976, ahli mikrobiologi Belgia, Peter Piot, menemukan penyakit virus baru di dekat Sungai Ebola, anak sungai dari Kongo. Wabah virus Ebola, dengan tingkat kematian yang tinggi, terus berlanjut di Afrika, dengan yang terbesar di Afrika Barat dari 2013 hingga 2016. Sumbernya diperkirakan dari kelelawar buah.
"Epidemi di belahan dunia lain adalah ancaman bagi kita semua. Tidak ada epidemi yang hanya bersifat lokal,” kata Peter Piot.
Advertisement
Malaria
Selain bakteri dan virus, beberapa penyakit menular disebabkan sel kompleks yang berbeda sifatnya. Dan beberapa, seperti malaria, memiliki siklus hidup yang rumit - dengan banyak tahapan di dalam tubuh lebih dari satu spesies.
Malaria, salah satu penyakit yang berbahaya bagi manusia. Penyakit ini disebabkan parasit Plasmodiun yang menghubungkan antara nyamuk dan manusia.
Pada tahun 2015, terdapat 214 juta kasus malaria di seluruh dunia-dengan angka kematian tertinggi di Afrika. Penyakit ini bisa diobati dengan obat-obatan, seperti chloroquine. Tetapi sejak tahun 1950-an, Plasmodium terus mengembangkan resistensi regional terhadap hampir semua obat antimalaria standar yang tersedia.
Salah satu obat yang bernama artemisinin. sebagian besar tetap efektif, tetapi kemudian, pada tahun 2008, strain Plasmodium di Kamboja muncul yang juga resisten terhadapnya.
“Para ilmuwan sangat khawatir dengan hasil dari percobaan yang menunjukkan bentuk parasit baru ini dapat bertahan hidup di nyamuk Afrika yang mengancam penyebaran lebih lanjut,” jelas Davis.
Sementara itu, program perlombaan penelitian terus mengikuti Plasmodium yang berubah dengan cepat untuk mencari perawatan baru.
Zika
Pada Februari 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sekelompok bayi yang mengalami kerusakan otak dan kasus gangguan saraf lainnya di Amerika tengah dan Selatan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat. Virus yang bertanggung jawab, dikenal sebagai Zika, disebarkan oleh nyamuk.
Kehadiran vaksinasi di tengah penyakit yang mengancam manusia, bisa menawarkan harapan bahwa penyakit berbahaya dapat dikendalikan atau bahkan dimusnahkan. Misalnya saja dalam memberantas cacar pada tahun 1970-an.
Pada tahun 2013, vaksin yang menggunakan versi mati dari HIV menunjukkan bahwa hal itu dapat meningkatkan tanggapan kekebalan penderitanya.
Vaksin malaria yang dikembangkan oleh Glaxosmithkline efektif dalam mengurangi malaria pada anak-anak.
Selain itu, banyak juga obat antivirus baru yang didasarkan pada antibodi. Namun, WHO melaporkan bahwa pengobatan korban Ebola dengan serum yang diisolasi dari survivor telah memberikan hasil yang menjanjikan.
“Di masa depan, respons yang lebih cepat dan obat antivirus akan berperan penting dalam membatasi penyebaran penyakit menular,” ujar Davis.
Advertisement