Liputan6.com, Jakarta - Banyak publik figur memamerkan saham yang dimiliki melalui media sosial pribadinya. Hal ini menuai beragam komentar. Berbeda dengan barang, pengamat pasar modal Budi Frensidy menyebut, saham tak layak menjadi barang endorsement.
"Mestinya itu tidak etis dan tidak boleh, karena yang namanya saham itu tidak sama dengan barang di toko, sehingga dengan mudah di-endorse," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (7/1/2021).
Budi juga menyebut, saham pada dasarnya membutuhkan analisis yang memperhitungkan berbagai faktor, seperti kinerja perusahaan, analisis persaingan usaha, analisis industri, analisis ekonomi dan pasar makro-mikro.
"Kenapa tidak boleh, karena harus ada dasarnya, harusnya ada alasannya, apakah analisis fundamental dasarnya, apakah teknikal, apakah proyeksi pertumbuhan ke depan, apakah momentum dan sebagainya," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, fenomena ini juga bisa mengakibatkan persaingan tidak sehat karena ajakan membeli saham justru menjadi hal yang merugikan bagi sebagian pihak.
"Iya (tidak sehat), jadi orang membeli saham bukan karena menganalisis tapi karena endorse. Bukan selebritis, ada beberapa yang merekomendasikan, ternya dia sudah beli banyak, kemudian orang beli biar harganya naik lalu dia jual. Itu namanya manipulasi pasar, kalau dulu istilahnya gorengan, sekarang pompom," tutur Budi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Ketahui Dulu Saham yang Dibeli
Oleh karena itu, Budi berpesan untuk selalu memperhatikan kondisi pasar dan mengetahui dulu saham yang akan dibeli, bukan hanya ikut-ikutan atau sebagai followers.
"Siap-siap yang follow dan ikut-ikut atau orang awam dan tidak mengerti. Mungkin bisa untung, tapi ke depannya, atau siap-siap lebih sering menanggung kerugian, karena kalau sudah endorsement itu harganya sudah enggak wajar," ujar dia.
Advertisement