Liputan6.com, Aceh - Pelecehan seksual dengan cara memanfaatkan jabatan kembali mencuat. Kali ini diduga terjadi di dalam Badan Reintegrasi Aceh (BRA), sebuah lembaga resmi milik pemerintah yang mengurus masalah reintegrasi dalam proses perdamaian di Aceh.
Pelakunya disebut-sebut menjabat sebagai deputi di lembaga itu berinisial HG. Dia diduga telah melecehkan seorang perempuan berinisial CK, yang berstatus tenaga kontrak.
Advertisement
Pelecehan yang telah dialaminya digambarkan oleh CK dalam surat pengaduannya kepada kepala sekretariat BRA bertanggal 25 November 2020, atau 2 hari setelah dirinya diduga telah dicabuli oleh HG. Surat itu pun tersebar luas di media sosial.
CK mengaku bahwa dirinya dilecehkan di dalam ruangan HG. Ketika itu, Senin siang (23/11/2020), dia dipanggil ke dalam ruangan oleh HG lalu diminta tolong untuk mengecek foto rekening seseorang.
CK yang disuruh duduk di samping HG pun meminjam handphone milik HG untuk mengecek foto rekening yang diminta oleh HG. Berdasarkan cerita CK, saat itulah HG mulai berbuat tidak senonoh kepadanya.
"...beliau memegang tangan saya dan meletakkan di pahanya, kemudian saya menarik tangan saya," tulis CK.
HG, katanya, dua kali melakukan hal yang sama. CK berusaha menghindar dengan berkata, "Apa ini, Pak? Enggak!" lalu segera beranjak dari ruangan tersebut.
Sesaat kemudian, HG kembali memanggil CK dengan dalih ada hal penting yang ingin disampaikan, tetapi, CK yang trauma dengan kejadian yang baru saja dialaminya merasa enggan masuk ke ruangan lelaki yang berpangkat jauh di atasnya itu. Karena HG ngotot memanggil, ia pun berusaha berpikir positif lalu mengiyakan panggilan tersebut.
Apa lacur, CK kembali mendapat pelecehan. Ketika itu, tanpa ba-bi-bu, HG tiba-tiba memeluknya dari belakang yang bikin perempuan itu berontak seketika.
"Saya bersuara besar, apa ini Pak, saya tidak mau, lepaskan saya Pak, saya pun langsung membuka pintu ruangan, tidak lama kemudian rekan saya pun datang, saya pun yang sedang merasa shock dan tertekan langsung pulang," kesahnya.
Di dalam surat tersebut, CK memohon agar pimpinannya memberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku kepada HG agar tidak ada korban lain yang mengalami pelecehan seksual seperti dirinya. Diselipkan pula permohonan agar dirinya dipindahtugaskan ke bagian lain di lembaga tersebut.
Simak Video Pilihan Berikut:
Menyoal Keberpihakan Ketua BRA
Setelah kasus ini menjadi rumor yang tersebar luas di media sosial, ketua badan tersebut, Fakhrurrazi Yusuf, bereaksi di media massa dengan mengatakan bahwa dirinya telah berkoordinasi dengan otoritas terkait menyangkut dengan pemecatan HG.
Otoritas yang dimaksud adalah Gubernur Aceh, Nova Iriansyah serta Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), Muzakir Manaf. Namun, sejak pernyataan Fakhrurrazi keluar pada Desember tahun lalu, hingga awal Januari 2021, HG masih aktif berkantor dengan dalih bahwa surat pemberhentian untuknya belum turun dari gubernur.
Pernyataan terbaru Fakhrurrazi di media massa menjelaskan bahwa HG masih harus menyelesaikan laporan pertanggungjawaban pekerjaannya. Kemungkinan besar dia benar-benar berhenti pada pertengahan Januari ini.
Di satu sisi, harapan CK agar dirinya dipindahtugaskan ke bagian lain di lingkungan lembaga tersebut agaknya tidak akan kesampaian. Baru-baru ini tersiar kabar bahwa perempuan yang notabene berstatus sebagai korban itu juga akan ikut didepak.
Fakhrurrazi yang dikonfirmasi oleh wartawan mengatakan bahwa usulan pemecatan terhadap CK merupakan tindakan untuk menyelamatkan nama baik instansi, dengan kalimat lain, dirinya dinilai ikut serta mempermalukan BRA, sama seperti HG. Selain itu, keputusan tersebut diambil untuk mencegah terjadinya fitnah dan lain-lain.
Fakhrurrazi tidak menjelaskan maksud kata fitnah dan lain-lain tersebut. Sementara itu, keputusan pemecatan CK kontan bikin lembaga nonpemerintah di Aceh bereaksi.
Badan yang lekat dengan korban konflik di Aceh itu dinilai kontras dalam hal keberpihakan. Alih-alih berpihak kepada CK, BRA seakan-akan memperlakukan korban dan pelaku secara senada.
"Ia justru mengusulkan pemberhentian kerja korban pelecehan seksual yang menunjukkan bahwa ketua BRA tidak memiliki keberpihakan terhadap korban," ujar Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, dalam siaran persnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/1/2021).
Kata "mempermalukan" yang dialamatkan kepada CK sendiri pun dinilai ambigu oleh Syahrul. Menurutnya, akan sangat keliru apabila hal itu dikaitkan dengan tindakan CK yang telah mengadukan tindakan cendala sang deputi hingga kasus yang menyeret nama BRA tersebut mencuat ke publik lantas dianggap telah menyebabkan lembaga itu tidak lagi bonafide di mata publik.
"Pelaporan korban terhadap perbuatan yang menimpa dirinya sama sekali tidak ada kaitannya dengan 'kemaluan' instansi BRA. Keberanian korban melaporkan tindakan cabul yang menimpa dirinya adalah suatu tindakan yang patut didukung secara penuh oleh semua pihak, terutama Fakhrurrazi Yusuf, sebagai ketua BRA. Hal yang harus dipahami olehnya, aib sepenuhnya melekat pada pelaku cabul, bukan pada korban," tegas Syahrul.
Dia melanjutkan, jika mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengutip pasal 86, sebagai tenaga kerja, BRA mestinya bertangggung jawab atas perlindungan moral dan kesusilaan CK, termasuk mendapat perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Bukan malah menyeretnya ke jurang yang sama, di mana HG berada dengan segala dugaan kemesumannya.
"Ketua BRA harusnya paham bahwa pencabulan itu terjadi akibat ketimpangan relasi kuasa antara atasan dengan bawahan di instansi yang dipimpinnya. Ini memperkuat dugaan adanya kelalaian ketua BRA dalam melakukan pengawasan. Kami menyarankan agar ketua BRA sadar diri akan ketidakmampuannya melindungi harkat dan martabat bawahannya sehingga menjadi korban pelecehan seksual," tambah Syahrul.
Advertisement
Seret HG ke Meja Hijau
Di satu sisi, menurut Syahrul, sanksi terhadap pelaku akan sangat-sangat absurd apabila hanya sampai pada taraf pemecatan karena sanksi terhadap para pelaku pencabulan telah diatur dalam KUHP. Langkah yang paling benar adalah menyeret HG ke kursi pesakitan, terlepas dari benar tidaknya dia telah melakukan pencabulan terhadap CK, semua akan dibuktikan di ruang sidang.
"Perbuatan cabul dalam lingkup kerja diatur dalam pasal 294 ayat 2 KUHP. Bahwa, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya diancam dengan pidana penjara selama 7 tahun," terang Syahrul.
Oleh karena itu, imbuh Syahrul, badan tersebut sepatutnya mendukung proses penegakan hukum dengan cara mendampingi CK untuk membuat laporan polisi, serta melakukan pengawalan selama proses tersebut. Di samping itu, kasus ini pun sebenarnya tidak masuk dalam delik aduan di mana aparat penegak hukum bisa bertindak aktif tanpa harus menunggu laporan dari korban apalagi ia telah jadi konsumsi publik.
"BRA juga dapat berkoordinasi dengan DP3A sebagai instansi pemerintah yang dibentuk untuk memberikan layanan pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan di Aceh. Walaupun DP3A juga dapat memberikan layanan kepada korban tanpa harus menunggu laporan langsung dari korban karena kasus ini sudah diketahui oleh masyarakat luas," aju Syahrul.
Liputan6.com sudah berupaya menghubungi nomor kontak Fakhrurrazi yang diberikan oleh salah seorang pejabat dari badan tersebut untuk mengonfirmasi soalan ini, namun, nomor tersebut tidak tersambung. Hal yang sama terjadi pada pesan WhatsApp yang belum dibalas sampai berita ini ditulis kemudian dikirimkan ke redaksi.