SIGAB: Tuntutan bagi Pelaku Kekerasan Seksual pada Disabilitas Bisa Diperberat

Kasus kekerasan seksual sering terjadi pada penyandang disabilitas. Salah satu upaya mengurangi angka kasus adalah dengan memperberat tuntutan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Jan 2021, 10:00 WIB
Massa Kolaborasi Nasional menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Massa yang menuntut DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini datang dari berbagai daerah. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual sering terjadi pada penyandang disabilitas. Salah satu upaya mengurangi angka kasus adalah dengan memperberat tuntutan.

Seperti diterapkan di Kejaksaan Tinggi Jogja, di mana kejaksaan ini membuat aturan bahwa pelaku kekerasan seksual pada difabel bisa dijatuhi hukuman yang lebih berat ketimbang pelaku kekerasan seksual pada non disabilitas.

Hal ini disampaikan oleh Koordinator Advokasi Jaringan Lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti.

SIGAB sendiri adalah lembaga yang aktif bergerak dalam pendampingan dan penanganan hukum bagi penyandang disabilitas.

Menurutnya, Kejaksaan Tinggi Jogja telah mengeluarkan kebijakan tentang proses penuntutan bagi kawan-kawan disabilitas. Jika penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual maka tuntutannya boleh ditinggikan.

“Misalkan pencabulan secara umum tuntutannya 7 tahun, kalau korbannya disabilitas jaksa boleh menuntut 9 tahun,” ujar Purwanti dalam bincang-bincang bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Jumat (8/1/2021).

Simak Video Berikut Ini:


Kasus Lain

Selain kasus kekerasan seksual, kasus lain yang terjadi pada penyandang disabilitas adalah kasus yang terkait dengan pengampuan.

“Pengampuan ini biasanya berhubungan dengan nilai ekonomi, hak waris. Jika kasus ini tidak diawasi maka ada potensi penelantaran.”

Selain pengampuan, ada pula kasus perceraian yang dikarenakan gangguan jiwa. “Jadi ketika istrinya gangguan jiwa, suaminya langsung mengurus perceraian.”

Perceraian akibat gangguan jiwa juga sering kali didukung oleh keluarga karena kondisi pasangan yang sudah tidak bisa lagi mengurus segala hal.

Ketika seseorang diceraikan akibat gangguan jiwa, maka orang tersebut tidak mendapatkan hak asuh anak karena secara hukum juga dilemahkan.

“Orang dengan gangguan jiwa tidak mungkin bisa merawat anak nanti malah membahayakan tapi tidak dipikirkan bagaimana penanganannya.”

“Sebenarnya kalau dia ditangani dengan baik untuk konseling dan akses minum obat, itu bisa sembuh.”

Menurut Purwanti, guna menanggulangi masalah ini, lembaga perlindungan perempuan dan anak serta lembaga dan dinas sosial bisa didorong sebagai konselor sehingga deteksi, intervensi dini, dan perlindungan awal bisa dilakukan.  


Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya