Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengatakan bahwa tidak ada proses atau bahan dari vaksin COVID-19 Sinovac yang sifatnya tidak halal.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam konferensi pers virtualnya. Dia mengatakan, mereka bersama auditor dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melakukan audit untuk aspek kehalalan.
Advertisement
"Kami juga memberikan data-data mutu dari vaksin COVID-19 ini yang menunjukkan tidak ada proses dan tidak menggunakan bahan-bahan yang sifatnya tidak halal," kata Penny pada Jumat (8/1/2021).
Penny mengatakan bahwa setelah BPOM mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA), rekomendasi tersebut akan diberikan ke MUI sehingga dapat diproses.
"Segera MUI akan memproses dengan cepat sehingga sertifikasi halal itu akan dikeluarkan dalam waktu yang tidak terlalu lama," kata Penny.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Menunggu EUA untuk Indonesia
Untuk pengumuman EUA sendiri, BPOM mengatakan bahwa mereka masih menunggu data pengamatan interim selama tiga bulan, yang akan diberikan hari ini.
"Jadi hari ini kami terima, secepatnya akan kami bahas bersama dan dalam waktu tidak lama lagi, mudah-mudahan akan segera final dan bisa akan segera diumumkan Emergency Use Authorization tersebut."
Penny memastikan bahwa EUA akan bisa dikeluarkan sebelum tanggal 13 Januari 2021, di mana vaksinasi COVID-19 direncanakan akan dimulai dengan penyuntikkan perdana kepada Presiden Joko Widodo.
Penny K. Lukito, Kepala BPOM menyebut bahwa pemerintah memang telah merencanakan vaksinasi dimulai pada 13 Januari 2021. "Tapi itu bukan berarti mengikat Badan POM harus tanggal sekian untuk memberikan Emergency Use Authorization."
Penny mengatakan bahwa pemerintah sudah berkomunikasi dengan BPOM terkait penetapan tanggal tersebut. Dia mengatakan bahwa mereka telah melakukan rolling submission dan melewati berbagai tahap.
"Kemarin dan hari ini sudah dilakukan pembahasan akhir-akhir," kata Penny.
Setelah data diterima, BPOM nantinya akan menganalisa dan melakukan pembahasan internal. Proses ini lalu dilanjutkan dengan Komisi Nasional Penilaian Obat serta melibatkan ITAGI, epidemiolog, dan klinisi lain.
"Sehingga segera bisa kami berikan dalam beberapa hari ke depan," pungkas Penny.
Advertisement