Pembatasan Kegiatan Jawa Bali Bakal Selamatkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Jan 2021, 19:30 WIB
Warga berada di sekitar Spot Budaya Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (5/11/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen, Indonesia dipastikan resesi karena pertumbuhan ekonomi dua kali mengalami minus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. Kebijakan ini akan dilakukan serentak mulai 11-25 Januari 2021.

Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, menilai keputusan tersebut merupakan opsi terbaik. Meskipun pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan akan kembali resesi dengan pertumbuhan negatif di kisaran minus 0-0,5 persen.

Di sisi lain, jika pemerintah bersikukuh tidak melakukan PPKM atau PSBB, maka pertumbuhan ekonomi nasional bisa terkontraksi lebih dalam hingga minus 3 persen.

"Sementara scenario terburuk apabila tdk dilakukan pengetatan, terjadi lonjakan kasus yg tinggi. Pertumbuhan ekonomi bisa lebih buruk di kisaran minus 1 sampai dengan minus 3 persen," jelas Piter kepada Liputan6.com, Minggu (10/1/2021).

Piter mengatakan, selama tidak diberlakukan PSBB dan PPKM secara penuh atau lockdown, dampak ke perekonomian diperkirakan tidak akan besar. Dengan kata lain, tidak akan menurunkan perekonomian yang sudah rendah.

Menurut dia, pengetatan sosial tersebut saat ini memang dibutuhkan. Sehingga dampaknya lebih menahan proses pemulihan yang sedang diupayakan pemerintah.

"Menurunkan kasus positif harus diutamakan. Kalau terjadi ledakan kasus sehingga harus PSBB ketat justru pemulihan ekonomi akan terganggu," ujar Piter.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


IMF Ramal Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,8 Persen Tahun Ini

Suasana pemukiman padat penduduk di kawasan Danau Sunter Barat, Jakarta, Kamis (17/9/2020). Pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta diprediksi memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di kuartal III 2020. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

International Monetary Fund (IMF) memprediksi kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali pulih di tahun ini dan 2022. Lembaga ini meramal Produk Domestik Bruto (PDB) riil Indonesia mencapai 4,8 persen pada 2021 dan 6 persen di 2022.

Tim International Monetary Fund (IMF), Thomas Helbling, menyebut bauran kebijakan ekonomi makro di Indonesia diperkirakan akan tetap akomodatif di tahun ini.

"Prospeknya positif. Membangun pemulihan ekonomi pada paruh kedua tahun 2020, PDB riil diproyeksikan meningkat sebesar 4,8 persen pada tahun 2021 dan 6 persen pada tahun 2022, dipimpin oleh langkah-langkah dukungan kebijakan yang kuat, termasuk rencana distribusi vaksin COVID-19 sebagai serta membaiknya kondisi ekonomi dan keuangan global," ujarnya dikutip dari laporan IMF, Jumat (8/1/2021).

Komitmen untuk secara bertahap memulihkan pilar kebijakan pra-pandemi juga akan membantu lebih meningkatkan kepercayaan pasar, terutama jika didukung oleh langkah-langkah pendapatan.

Maka dari itu, momentum reformasi struktural harus dipertahankan dengan pendalaman keuangan dan digitalisasi.

Strategi pemerintah jangka menengah untuk mengamankan pendapatan pajak juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang dan perlindungan sosial yang lebih besar, dan transisi menuju ekonomi yang lebih hijau.

IMF menilai Indonesia sudah merespons dengan paket kebijakan yang berani, komprehensif, dan terkoordinasi untuk mengatasi kesulitan sosial ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Intervensi kebijakan yang tepat waktu juga membantu menjaga stabilitas keuangan makro dan eksternal melalui periode tekanan pasar global.

Untuk mengamankan pemulihan yang sedang berlangsung, dukungan kebijakan yang memadai akan sangat penting. Bauran kebijakan makroekonomi yang akomodatif yang diharapkan pada tahun 2021 disambut baik.

Sementara, untuk jangka menengah, pemulihan kerangka kebijakan ekonomi makro harus segera di ambil, seperti mengembalikan 3 persen dari target defisit anggaran PDB.

“Pengaturan kebijakan fiskal yang direncanakan untuk 2021 akan membantu mendorong pemulihan. Sambil mempertahankan beberapa pengeluaran darurat terkait pandemi mulai tahun 2020, anggaran 2021 mengalokasikan kembali sumber daya anggaran dan potensi pelimpahan untuk peningkatan pengeluaran berdampak tinggi, terutama investasi publik," jelas dia.

Adapun langkah mendukung pemulihan tersebut Indonesia juga harus mengupayakan akomodasi moneter, melalui kombinasi suku bunga kebijakan yang lebih rendah dan pembelian obligasi pemerintah Bank Indonesia (BI), adalah tepat dalam keadaan luar biasa saat ini.

Rencana otoritas untuk hanya menggunakan mekanisme pasar yang ditetapkan pada April 2020 untuk pembelian obligasi pemerintah BI pada 2021 akan memberikan keseimbangan yang lebih baik, antara manfaat dan risiko yang terkait dengan pembiayaan anggaran moneter oleh BI.

“Sistem perbankan tetap stabil, berkat intervensi kebijakan yang berani dan tepat waktu. Namun, pencadangan kerugian pinjaman yang memadai akan menjadi penting bagi kemampuan bank untuk menyerap risiko kualitas aset yang meningkat," jelasnya.

Sementara Omnibus Law tentang penciptaan lapangan kerja harus membantu menurunkan hambatan terhadap pekerjaan baru, menciptakan investasi dan meningkatkan produktivitas. SertaPenerapan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Indonesia akan memperkuat manfaat ini bagi Indonesia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya