BPK Investigasi Potensi Salah Alokasi Dana Bantuan Covid-19, Nilainya Jumbo

Menurut BPK, di tengah kondisi pandemi Covid-19, risiko salah urus, pemborosan, penipuan dan bahkan korupsi bisa saja terjadi sewaktu-waktu.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jan 2021, 11:25 WIB
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyampaikan keterangan hasil pemeriksaan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Jakarta, Rabu (8/1/2020). BPK menyatakan laba keuangan Jiwasraya sejak 2006 semu karena hasil rekayasa laporan keuangan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemerika Keuangan (BPK) berkomitmen untuk terus mengawasi penyaluran insentif pengananan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi nasional (PEN) yang dijalankan oleh pemerintah. Pengawasan tersebut agar penyaluran tidak melenceng dari tujuan. 

Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan, BPK akan terus mengawasi penyaluran dana Covid-19 dan PEN sehingga bisa tepat sasaran dan tidak terjadi penyelewengan.

"Faktanya, saat ini terdapat investigasi yang sedang berlangsung di Indonesia tentang kemungkinan salah alokasi dana bantuan Covid 19 yang cukup besar," kata dia dalam Webinar Internasional Ensuring Transparency and Accountability in Covid-19 Pandemic: a Multi-Stakeholder Approach/Perspective di Jakarta, Senin (11/1/2021).

Dia menyadari di tengah kondisi pandemi Covid-19, risiko salah urus, pemborosan, penipuan dan bahkan korupsi bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Sehingga betul-betul dalam hal ini sistem pengawasan di Indonesia harus berfungsi dan bekerja dengan efektif.

"Karena lebih banyak tindakan diambil untuk mencapai tujuan ini, (maka kita) lebih banyak perhatian harus diberikan untuk memastikan tata kelola yang kuat," jelasnya.

Oleh karena itu, kata dia, Covid-19 memberikan kesempatan yang diperlukan dan tepat waktu bagi Lembaga Pemeriksa Keuangan (SAI) untuk meningkatkan dan menegaskan perannya sebagai lembaga tata kelola utama.

Dia menambahkan, transparansi dan akuntabilitas adalah dua komponen utama dari tata kelola yang baik. Akuntabilitas tidak boleh dikompromikan bahkan selama krisis. Semua pemangku kepentingan harus sadar dan inklusivitas dan berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai tersebut, bahkan saat menangani masalah kritis lainnya.

"BPK menyadari kondisi tersebut dan oleh karena itu sedang melakukan audit komprehensif berbasis risiko," kata dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:


Covid-19 Bikin Pembangunan Keberlanjutan di Indonesia Sulit Dicapai

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna memberikan keterangan usai pertemuan dengan DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Dalam pertemuan, DPR meminta BPK melakukan pengawasan, pemeriksaan penggunaan dana dalam penanganan pandemi COVID-19 secara tansparan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Agung Firman Sampurna mengatakan ada beberapa program tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang akan sulit dicapai. Hal itu terjadi karena dampak dari kondisi pandemi Covid-19 yang merata secara global.

"Covid-19 membuat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 semakin sulit," kata dia dalam Webinar Internasional Ensuring Transparency and Accountability in Covid-19 Pandemic: a Multi-Stakeholder Approach/Perspective di Jakarta, Senin (11/1).

Dia menyebut beberapa program pembangunan berkelanjutan atau SDGS yang terancam tidak tercapai ialah nomor tiga. Yakni memastikan kehidupan yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua usia,

Kemudian SDGs satu, untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam segala bentuk, SDGs 10, untuk mengurangi ketidaksetaraan, SDGs dua, untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi.

Terakhir yakni SDG keempat. Yakni untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.

Dia menyadari Covid-19 telah menempatkan ekonomi dunia dalam kondisi yang buruk dan mendorong jutaan orang kembali ke dalam kemiskinan, memperburuk ketimpangan dan memaksa banyak orang untuk tetap, atau kembali, hidup dalam kemiskinan ekstrim.

"Hal ini dapat diukur dengan mempengaruhi kapasitas keluarga dalam menyediakan kebutuhan seperti makanan dan pendidikan bagi keluarganya," ujarnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya