Pengamat Bongkar Masalah di Industri Penerbangan, Performa Pesawat hingga Harga Tiket

Pemerintah agar segera melakukan pembenahan total industri penerbangan dalam negeri menyusul kecelakaan maskapai Sriwijaya Air SJ-182 Sabtu (9/1/2021).

oleh Athika Rahma diperbarui 11 Jan 2021, 13:59 WIB
Serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang dibawa KRI Kurau ditunjukkan di Dermaga JICT 2, Jakarta, Minggu (10/1/2021). Tim SAR Kopaska TNI AL menyerahkan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang berhasil dievakuasi ke Basarnas, Kepolisian, dan KNKT. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institute Ronny P Sasmita meminta pemerintah agar segera melakukan pembenahan total industri penerbangan dalam negeri menyusul kecelakaan maskapai Sriwijaya Air SJ-182 Sabtu (9/1/2021) silam.

Ronny berkata, sejak 2014 hingga 9 Januari 2021 kejatuhan Sriwijaya Air, sudah terjadi kecelakaan serupa sebanyak 3 kali, yakni sebelumnya terjadi pada akhir 2014 dan 2018.

"Kita tak bisa menebak akan berapa kali lagi kecelakaan serupa terjadi, mengingat masa pemerintahan Jokowi masih tersisa sekira 4 tahun lagi. Setidaknya, dari banyaknya kecelakan penerbangan berkategori besar yang terjadi di era Jokowi patut dijadikan awalan untuk mempertajam pertanyaan-pertanyaan kritis kita selama ini tentang dunia penerbangan nasional," kata Ronny kepada Liputan6.com.

Ronny menjelaskan, industri penerbangan dalam negeri memang memiliki problematika yang pelik, mulai dari perdebatan performa pesawat, seperti pesawat Boeing 737 Max, hingga harga tiket yang mahal.

Harga tiket kerap kali dikaitkan dengan pelayanan, fasilitas dan keselamatan terbang. Harga tiket yang murah identik dengan kualitas dan keamanan yang 'biasa saja' karena anggapan publik yang menyatakan maskapai murah mendapat fasilitas 'seadanya'.

"Alasan tersebut jelas menyesatkan. Setidaknya, dunia penerbangan punya standar minimal internasional yang seharusnya mengutamakan keselamatan dan kenyamanan, sebelum berbicara harga dan rasionalisasi pelayanan minimal," kata Ronny.

Menurutnya, jika maskapai tidak mampu memenuhi standar keamanan dan keselamatan minimal internasional, maka harusnya mereka tidak menciptakan produk yang justru membahayakan konsumen.

"Logika harga yang murah sebagai harga yang layak untuk saku orang Indonesia otomatis batal, jika standar minimal internasional tak terpenuhi. Jadi bukan salah penumpang yang membeli tiket murah, tapi salah pembuat produk yang tidak memenuhi prasayat dasar sektor penerbangan," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Polemik di Industri Penerbangan

Tim KNKT dan Basarnas mengidentifikasi turbin pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (10/1/2021). Potongan mesin jenis pesawat Boeing 737-500 yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu itu diangkat dengan crane milik KRI Cucut 866. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Oleh karenanya, Ronny mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan polemik yang terjadi di industri penerbangan, karena sejatinya, permasalahan keamanan dan keselamatan terbang tidak hanya berasal dari satu sisi saja.

"Di awal tahun ini, kita diingatkan bahwa persoalan tidak hanya terletak pada Boeing 737 Max saja, pesawat jenis lain pun masih dihantui oleh kecelakaan penerbangan, yakni Sriwijaya, yang operasinya sudah berada di bawah manajemen Garuda Indonesia," kata Ronny.

"Jadi bagi Jokowi, ibarat peringatan, tiga adalah peringatan terakhir. Terlepas datangnya di tahun keenam atau tahun kesepuluh, peringatan ketiga, di mana pun kita berada, biasa dikenal sebagai peringatan terakhir. Saatnya Jokowi, Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN, serius membereskan sektor penerbangan dan transportasi udara Nasional Indonesia," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya