Quo Vadis Perlindungan Anak di Aceh?

"Jika butuh satu desa untuk membesarkan seorang anak, maka butuh satu desa pula untuk menyiksanya." Kalimat tokoh Walter V. Robinson, dalam film Spotlight tersebut akan mengawali laporan ringan Liputan6.com kali ini. Simak lebih lengkapnya:

oleh Rino Abonita diperbarui 15 Jan 2021, 13:01 WIB
Seorang pria saat dihukum cambuk dengan tongkat rotan oleh anggota polisi Syariah di sebuah gedung umum di Banda Aceh (24/9/2020). Pria tersebut dihukum akibat melakukan pelecehan seksual dengan anak di bawah umur. (AFP/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Aceh - Ketika legislator di Aceh merancang Qanun Jinayah sebagai produk hukum yang akan berlaku di provinsi tersebut, reaksi beragam pun bermunculan. Aturan setingkat peraturan daerah (perda) itu telah melahirkan kontroversi.

Danial, dalam jurnalnya yang berjudul Qanun Jinayah dan Perlindungan HAM (2012), menuliskan bahwa pro-kontra yang muncul pada waktu itu terbagi atas 3 model. Pertama, kelompok yang menolak dengan alasan bahwa qanun tersebut bertentangan dengan khitah penegakan HAM.

Selanjutnya, kelompok yang menerima tanpa syarat jika tidak disebut taklid, atau yang yakin bahwa semua ketentuan di dalam qanun tersebut merupakan titah yang bersumberkan Al-Qur'an dan hadis. Terakhir, terdiri dari barisan orang-orang yang hanya menganjurkan adanya perubahan sejumlah pasal yang dipandang bermasalah saja.

Sebagai produk hukum, inisiasi tersebut merupakan gebrakan baru dalam penegakan syariat Islam bagi para pendukungnya. Dengan melahirkan qanun tersebut, Aceh dianggap telah selangkah lebih maju berjalan di atas karpet tamadun Islamiah, dalam artian, Qanun Jinayah menandai kembalinya kegemilangan sunatullah di tengah kepungan zaman yang kian bikin orang terjerumus ke jurang degradasi moral.

Sebaliknya, citra negatif terus disematkan oleh kelompok-kelompok yang berpikir dengan ideologi antroposentris serta memandang hukuman badan seperti cambuk sebagai kemunduran dari peradaban. Sementara itu, sungguhpun sempat ada upaya judicial review yang membayangi, aturan yang dinilai akan jadi momok bagi penegakan HAM di Aceh itu pada akhirnya menghablur jua jadi Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Penegakan qanun tersebut ditandai dengan rentetan eksekusi terhadap para terhukum yang dilakukan di atas panggung alun-alun ibu kota atau pelataran masjid, tempat di mana orang-orang bisa menonton para pesakitan tanpa perlu membayar tiket terlebih dahulu. Pemabuk, pejudi, pezina, hingga para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, semuanya dicambuk di muka umum.

Untuk jarimah kejahatan seksual terhadap anak, muncul pertanyaan apakah pecutan rotan berdiameter 0,75 sampai 1 sentimeter sebanding dengan perbuatan durjana pelaku? Di sisi lain, bagaimana perasaan korban atau keluarganya ketika pelaku bebas melenggang kangkung di depan mata setelah merasakan hukuman yang dapat dikatakan hanya berlangsung sesaat itu?

Sebagai informasi, di dalam beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa kasus kejahatan seksual menyasar anak-anak yang pelakunya berakhir di panggung pencambukan. Salah satunya kasus yang menimpa sejumlah murid sebuah balai pengajian di Aceh Besar pada 2017, di mana pelaku bekerja sebagai asisten di balai tersebut, yang mendapat hukuman cambuk sebanyak 120 kali.

Selanjutnya, 4 terpidana kasus yang sama di Aceh Barat Daya dicambuk sebanyak 70 kali, pada November tahun yang sama. Eksekusi cambuk juga terjadi di masa pagebluk terhadap seorang lelaki yang bekerja di sebuah pesantren dengan jumlah cambukan sebanyak 74 kali setelah dikurangi masa penahanan selama 6 bulan ketika proses penyidikan berlangsung.

Mengingat dampak krusial yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku terhadap para korban bisa menjadi residu dari trauma masa kecil yang berpotensi meledak sewaktu-waktu, praktik hukuman seperti itu agaknya tidak sebanding, demikian yang diembuskan oleh aktivis kemanusiaan di Aceh. Tidak sedikit penyintas yang bermasalah dengan hukum diakibatkan pelecehan seksual yang pernah dialaminya sewaktu kecil, kendati dampak traumatis setiap korban akan berbeda-beda.

Hyu Sisca dan Clara Monica dalam jurnal mereka berjudul Resilensi Perempuan Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-Kanak (2008), mengutip Kendall-Tackett, Williams, dan Finkelhor (dari Santrock, 2004), menulis bahwa dampak terbesar yang akan terus berlanjut hingga kehidupan dewasa para penyintas adalah ketakutan serta rendahnya harga diri.


Pengaruh Pengalaman Masa Lalu

Ilustrasi Penganiayaan (iStockphoto)​

Pengalaman mengalami kekerasan seksual di masa anak-anak juga akan berhubungan dengan stress emosional di masa dewasa yang akan menyebabkan, salah satunya, kesulitan menjalin relasi intim dengan orang lain (dari Rice, 1999). Demikian tulis Hyu dan Clara, mengutip Whitffen dan MacIntosh (2005).

Sebagai tambahan, Achi Sudiarti Luhulima, dalam Pemahaman tentang Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan Alternatif Pemecahannya, (2000), menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang berkaitan dengan perkelaminan atau seksualitas dan lebih khusus bagi yang berkaitan dengan seksualitas laki-laki dan perempuan.

Soal kekerasan seksual sendiri, Provinsi Aceh dapat dikatakan berstatus darurat, demikian kata Risnawati, Direktur Flower Aceh —sebuah lembaga yang berkonsentrasi dalam pemberdayaan dan penguatan perempuan akar rumput— di salah satu media daring lokal. Pernyataannya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh otoritas terkait di mana dari 254 kasus yang terjadi pada 2020, 62 di antaranya menyasar anak-anak.

Berkaitan dengan penegakan hukum atas para pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak, Amrina Habibi mengawali jurnalnya yang berjudul Dualisme Penerapan Hukum Kekerasan Seksual terhadap Anak di Provinsi Aceh (2019), dengan menulis secara tersirat bahwa ketentuan pasal yang mengatur hukuman atas pelaku kekerasan seksual terhadap anak di dalam Qanun Aceh No. 6/2014 tentang Jinayat telah menimbulkan dualisme aturan hukum karena di negara ini telah ada Undang-Undang No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA).

Melihat ini, dapat dikatakan bahwa terdapat dua versi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia yang telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarlembaga peradilan. Ada Pengadilan Anak di bawah peradilan umum di satu sisi, dan Mahkamah Syar’iyah di bawah peradilan agama di sisi yang lain.

Kewenangan menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh 2 lembaga peradilan yang berbeda ini dapat menimbulkan persoalan bagi korban dalam upaya mencari kepastian hukum, tulis Amrina. Di sisi lain, ini juga akan menyebabkan kebingungan masyarakat dalam rangka mencari keadilan serta penyelesaian kasus, terutama kekerasan seksual terhadap anak.

Dari wawancaranya dengan Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Aceh, Amrina juga menemukan bahwa jeratan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang ada di dalam qanun ternyata jauh lebih ringan dibandingkan pasal yang terkandung di dalam UUPA. Soalan yang sama sebenarnya telah diembuskan oleh YLBHI-LBH Banda Aceh jauh hari.

Untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak, lembaga nonpemerintah itu sendiri mengalami peningkatan jumlah pengaduan sepanjang 2019-2020. Masalahnya, upaya untuk mendapatkan keadilan bagi para korban terhalang oleh idiosinkrasi aturan yang berlindung di balik dalih otonomi khusus.

Ini bahkan terlampau sensitif untuk dibahas di ruang terbuka, terlebih apabila ditarik satu garis aksioma bahwa yang sedang dihadapi adalah aturan yang dianggap nirmala karena diyakini berjalan di atas nubuat dan sabda. Mereka yang ingin mengotak-atik qanun, otomatis sedang menabuh genderang perang.

Yogianya, egosentrisitas seperti itu perlu dihilangkan sesaat, mengingat di dalam salah satu poin konsiderans qanun tersebut tertulis bahwa syariat Islam dilaksanakan dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum.

Orang-orang mestinya sadar bahwa terdapat perbedaan antara Qanun Jinayah dengan UUPA berkaitan dengan jeratan hukum atas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sebuah perbedaan yang tampak kentara, terkesan tidak adil, serta memperlihatkan adanya ketidakpastian hukum yang notabene bertolak belakang dari poin konsiderans qanun itu sendiri.


Qanun Jinayah Perlu Direvisi!

Ilustrasi pencabulan.

Berat ringan jeratan hukum kedua aturan tersebut dapat dilihat bahwa pada pasal 47 Qanun Jinayah, pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah takzir berupa cambuk paling banyak 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan —sama dengan 7 tahun 6 bulan.

Sedangkan di dalam pasal 81 UUPA, pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Apabila pelaku merupakan keluarga, orang tua, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, dan residivis, jumlah hukumannya dapat ditambah sepertiga dari ancaman.

Selain pemulihan pascatrauma secara intens baik psikis dan sosial, di dalam UUPA juga terdapat pasal hak restitusi (ganti rugi) untuk semua jenis kekerasan seksual terhadap anak, Artinya, pelaku tidak hanya dipenjara, tetapi juga dimiskinkan!

Penggantian biaya perawatan medis atau psikologis pun diatur khusus dalam pasal 3 PP No. 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Untuk diketahui, Qanun Jinayah sebenarnya juga mengatur hak restitusi bahwa korban dapat meminta ganti rugi paling banyak 750 gram emas murni, namun, poin ini cuma menyenteri kasus kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan saja.

Karena itu, YLBHI-LBH Banda Aceh berharap lembaga dewan di daerah itu melakukan revisi terbatas terhadap qanun tersebut melalui mekanisme legislative review untuk mencabut pasal 47 dan pasal 50 karena keduanya dinilai bertentangan dengan spirit perlindungan anak.

Selain itu, sangat berpotensi memberi jerat hukum yang terbilang rendah karena kemungkinan pelaku hanya diberi hukuman cambuk sangat terbuka. Terakhir, kekerasan seksual terhadap anak merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa memiliki undang-undang tersendiri yang jauh lebih tinggi secara hierarki perundang-undangan daripada Qanun Jinayah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya