Liputan6.com, Jakarta- DPR Amerika Serikat memutuskan untuk memakzulkan Presiden Donald Trump, atas "hasutan pemberontakan" dalam kerusuhan yang terjadi di gedung Capitol Hill pekan lalu.
Dikutip dari BBC, Kamis (14/1/2021), 10 anggota Partai Republik memihak Demokrat untuk memakzulkan Trump dengan hitungan suara 232-197.
Advertisement
Pemakzulan itu menjadikan Trump sebagai presiden pertama dalam sejarah AS, yang dimakzulkan sebanyak dua kali.
Tapi persidangannya di Senat tidak akan terjadi sampai Joe Biden, seorang Demokrat, dilantik sebagai presiden AS pada minggu depan, 20 Januari.
DPR yang saat ini dikendalikan Demokrat, melakukan pemungutan suara pada Rabu 13 Januari waktu setempat, setelah terjadi perdebatan sengit yang berlangsung selama beberapa jam ketika pasukan Garda Nasional bersenjata mengawasi di dalam dan di luar Capitol Hill.
Biro Investigasi Federal AS (FBI) juga telah memperingatkan kemungkinan adanya protes bersenjata yang direncanakan di Washington D.C, termasuk semua, 50 ibu kota negara bagian menjelang pelantikan Joe Biden sebagai presiden AS pada 20 Januari mendatang.
Beberapa waktu setelah pemungutan suara di Kongres, Trump menyampaikan dalam sebuah video yang dirilis Gedung Putih bahwa ia meminta para pendukungnya untuk tetap damai. Namun, Presiden AS ke-45 tersebut tidak menyinggung pemakzulannya.
"Kekerasan dan vandalisme tidak memiliki tempat di negara kita... Tidak ada pendukung saya yang akan mendukung kekerasan politik," kata Trump.
Saksikan Video Berikut Ini:
Tuduhan yang Dihadapi Trump
Tuduhan pemakzulan bersifat politis, bukan pidana.
Menanggapi pidatonya pada 6 Januari di Washington, Kongres menuduh Donald Trump menghasut penyerbuan di gedung Capitol Hill.
Trump dianggap mendesak para pendukungnya untuk "secara damai dan patriotik" membuat suara mereka didengar, tetapi juga untuk "berjuang sekuat tenaga" melawan hasil pemilihan yang diklai tela dicuri.
Menyusul pernyataan Trump, para pendukungnya mendatangi Capitol, memaksa anggota parlemen untuk menangguhkan sertifikasi hasil pemilu.
Bangunan tersebut kemudian diisolasi dan lima orang dilaporkan tewas.
Dalam pasal pemakzulan, Trump dikatakan "berulang kali mengeluarkan pernyataan tidak benar yang menyatakan bahwa terjadi penipuan dalam hasil pilpres dan hasilnya tidak boleh diterima".
Pasal pemakzulan itu juga menyebutkan bahwa ia mengulangi klaim dan "dengan sengaja membuat pernyataan kepada masyarakat luas yang mendorong dan diperkirakan mengakibatkan tindakan-tindakan tidak sesuai hukum di Capitol", yang berujung pada kekerasan dan hilangnya nyawa.
"Presiden Trump sangat membahayakan keamanan Amerika Serikat dan lembaga-lembaga pemerintahannya, mengancam integritas sistem demokrasi, mengganggu transisi kekuasaan secara damai, dan membahayakan cabang pemerintahan yang setara," demikian dalam pasal pemakzulan tersebut.
Sementara itu, 139 anggota Partai Republik pekan lalu juga menolak menerima hasil pemilu 2020 dan kekalahan Trump.
Advertisement
Sekilas Mengenai Pemakzulan
Mengutip BBC News, pemakzulan adalah ketika seorang presiden yang sedang menjabat dituduh melakukan kejahatan. Dalam kasus ini, Presiden Trump dituding menghasut pemberontakan dengan mendorong para pendukungnya menyerbu gedung Capitol Hill.
Lalu, mungkinkan Trump dicopot dari jabatannya?
Mayoritas senat sudah cukup untuk memakzulkan Trump. Tetapi untuk membebas tugaskannya, ia kemudian harus dihukum atas dakwaan tersebut oleh Senat, di mana dua pertiga mayoritas diperlukan.
Selain itu, ini adalah kedua kalinya Trump dimakzulkan, dan meskipun persidangan bisa dimulai setelah masa jabatannya berakhir, tetapi jika ia dihukum, Trump bisa dilarang untuk memegang jabatan publik lagi.
Pernyataan Anggota Kongres Selama Debat
Anggota Kongres membuat pernyataan-pernyataan mendukung dan menentang pemungutan suara di ruangan yang sama, tempat mereka bersembunyi di bawah kursi-kursi dan mengenakan masker gas ketika perusuh mencoba memaksa masuk ke Capitol Hill pekan lalu.
Kepada DPR, Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan "Presiden Amerika Serikat menghasut pemberontakan ini, pemberontakan bersenjata melawan negara kita bersama".
"Dia harus pergi. Ia adalah bahaya yang nyata dan jelas bagi bangsa yang kita semua cintai ini".
Anggota Kongres Demokrat Julian Castro menyebut Trump sebagai "orang paling berbahaya yang pernah menduduki Ruang Oval".
Sementara itu,sebagian besar Partai Republik juga tidak berusaha untuk membela retorika Trump, sebaliknya dengan alasan bahwa pemakzulan telah melampaui peradilan biasa dan menyerukan kepada Demokrat untuk membatalkannya demi persatuan nasional.
"Memberhentikan presiden dalam jangka waktu sesingkat itu akan menjadi kesalahan," kata politikus senior Partai Republik di DPR AS, Kevin McCarthy.
"Itu tidak berarti presiden bebas dari kesalahan. Presiden memikul tanggung jawab atas serangan hari Rabu di Kongres oleh massa perusuh," sebut McCarthy.
Seorang anggota Republik perwakilan Ohio, Jim Jordan menuding Demokrat memecah belah negara demi mengejar balas dendam politik.
"Ini persoalan menarget presiden Amerika Serikat," kata Jordan. "Ini selalu tentang menarget presiden, apa pun yang terjadi. Hal itu sebuah obsesi."
Adapun Liz Cheney, anggota peringkat ketiga di Partai Republik yang termasuk di antara anggota partai Republik yang mendukung untuk memakzulkan Trump.
Perwakilan Wyoming itu, yang merupakan putri dari mantan Wakil Presiden Dick Cheney, mengatakan bahwa "tidak pernah ada pengkhianatan yang lebih besar dari seorang presiden," merujuk tentang kerusuhan di Capitol.
Advertisement
Trump Catat Sejarah Lagi
Dalam penulisan analysis di laporan BBC News, reporter di Amerika Utara, Anthony Zurcher mengatakan bahwa Donald Trump kembali mencatat sejarah, dengan kali ini sebagai presiden pertama yang dimakzulkan dua kali.
2019 lalu, langkah pemakzulan itu ditentang oleh Partai Republik.
Namun kali ini, segelintir kelompok konservatif mendukung langkah tersebut.
Ini mencerminan tidak hanya pentingnya momen ini, tetapi juga menurunnya pengaruh presiden di hari-hari terakhir pemerintahannya, kata Zurcher.
Dilanjutkan Zurcher, pemakzulan menyiapkan persidangan di Senat untuk Trump yang sekarang tampaknya ditakdirkan untuk berlanjut hingga hari-hari awal kepresidenan Joe Biden.
Hal itu pun disebut menciptakan tantangan lain bagi presiden yang akan datang, juga akan menambah perdebatan yang sedang berlangsung di antara Partai Republik tentang arah yang diambil partai mereka ke depannya.
Partai tersebut, menurut Zurcher, berada di jalur yang terbagi dalam dua arah yang sangat berbeda.
Sementara itu, di satu sisi adalah kesetiaan berkelanjutan pada merek politik presiden - yang menciptakan koalisi pemilih baru yang melahirkan kedudukan di Gedung Putih dan Kongres pada tahun 2016, tetapi kehilangan keduanya pada tahun 2020.
Di sisi lain, adalah masa depan yang tidak pasti - tetapi yang bebas dari gaya debat dan retorika presiden yang unik - pernyataan tanpa filter yang bahkan diyakini oleh banyak orang Republik sekarang berkontribusi pada kerusuhan di Capitol Hill pekan lalu.
Bagaimana Selanjutnya?
Pemakzulan akan menuju ke Senat, yang akan memproses persidangan untuk menentukan kesalahan presiden.
Untuk menjatuhkan hukuman terhadap Trump, mayoritas dua pertiga diperlukan, yang berarti setidaknya 17 anggota Republik harus memberikan suara untuk Demokrat di majelis tinggi yang berisikan 100 kursi yang terbagi antara kedua partai.
Menurut laporan New York Times pada Selasa (12/1), sebanyak 20 anggota Senat Republik berpandang terbuka untuk menjatuhkan hukuman kepada presiden.
Anggota Kongres dapat mengadakan pemungutan suara lagi Jika Trump dinyatakan bersalah oleh Senat.
Hal itu dilakukan untuk memblokir Trump agar tidak mencalonkan diri lagi - yang telah ia rencanakan untuk tahun 2024 mendatang.
Tetapi, persidangan tidak akan datang selama sisa satu pekan terakhir Trump menjabat.
Dalam pernyataannya, Pemimpin Senat Republik Mitch McConnell mengatakan bahwa "Mengingat aturan, prosedur, dan preseden Senat yang mengatur persidangan pemakzulan presiden, tidak ada kemungkinan bahwa pengadilan yang adil atau serius dapat diselesaikan sebelum Presiden terpilih Biden dilantik pekan depan".
Dia mengatakan akan lebih baik melayani kepentingan bangsa jika Kongres berfokus pada transisi kekuasaan yang aman dan tertib untuk pemerintahan Biden yang akan datang.
Dikatakan juga oleh McConnell bahwa akan lebih baik melayani kepentingan bangsa jika Kongres berfokus pada transisi kekuasaan yang aman dan tertib untuk pemerintahan Biden yang akan datang.
Dalam sebuah catatan kepada rekan-rekannya, McConnell juga menyampaikan bahwa ia belum membuat keputusan akhir tentang pilihannya.
Sejauh ini, diketahui tidak ada presiden AS yang pernah dibebas tugaskan dari jabatannya melalui pemakzulan.
Pada 2019, Trump dimakzulkan oleh DPR AS tetapi kemudian dibebaskan oleh Senat.
Begitu pula yang terjadi pada tahun 1998 pada Bill Clinton dan yang terjadi pada Andrew Johnson di tahun 1868.
Baca Juga
Kisruh Politik Korea Selatan: Oposisi Tunda Keputusan untuk Memakzulkan Presiden Sementara
Kaleidoskop 2024: Dari Krisis Gaza, Donald Trump Kembali ke Gedung Putih, hingga Drama Pemakzulan Presiden Korea Selatan
Oposisi Korea Selatan Ancam Makzulkan Presiden Sementara Han Duck-soo Terkait Penyelidikan Darurat Militer
Advertisement