Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Permentan Nomor 49 Tahun 2020 tentang pedoman Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk bersubsidi tahun anggaran 2021. Dalam Permentan tersebut, HET pupuk naik Rp 300 hingga Rp 450 per kg.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy membeberkan sebab utama kenaikan HET pupuk subsidi ini. "Dasarnya adalah adanya penurunan anggaran 2021 sebanyak lebih kurang Rp 4,6 triliun," papar Sarwo Edhy dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Senin (18/1/2021).
Advertisement
Adapun, anggaran subsidi pupuk tahun 2021 ialah Rp 25,28 triliun (pagu indikatif). Bila berdasarkan realisasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2014-2018, anggarannya ialah Rp 32,584 triliun.
Penyebab lainnya ialah usulan dari petani sendiri melalui surat yang disampaikan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) kepada Menteri Keuangan Nomor 07/E/KTNA Nas/03/2020 tentang kesediaan petani atas kenaikan HET Rp 300 hingga Rp 500 per kg untuk mengatasi kekurangan pupuk.
Kemudian, alasan lainnya ialah merujuk pada kesimpulan RDP dengan Komisi IV pada 12 Februari 2020 yang mendukung pemerintah untuk menaikkan HET pupuk bersubsidi.
"HET tetap sejak 2012. Tidak ada kenaikan HET sejak tahun 2012, sementara kenaikan HPP gabah hampir tiap tahun meningkat," demikian dikutip dari paparan materi Dirjen PSP.
Selain itu, HET juga dinaikkan untuk meminimalkan kesenjangan harga antara pupuk bersubsidi dan non subsidi serta merujuk pada rekomendasi risalah rapat terbatas bidang perekonomian RI tanggal 14 Desember 2020 yang dipimpin Kemenko Perekonomian.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Petani: Pemerintah Jangan Setengah-Setengah Berpihak ke Petani
Sebelumnya, para petani mengapresiasi upaya Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah mempercepat penerbitan regulasi mengenai pupuk subsidi. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya Permentan Nomor 49 Tahun 2020 Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021 pada 30 Desember 2020 lalu.
Tidak hanya itu, terobosan Kementan mengenai penyederhanaan regulasi dalam distribusi pupuk subsidi menjadi satu hal yang positif. Jika sebelumnya aturan distribusi pupuk harus melalui Peraturan Gubernur (Pergub) kini cukup melalui Surat Keputusan (SK) Dinas Pertanian setempat.
Sayangnya, upaya percepatan di pemerintah pusat ini belum diikuti oleh jajaran di pemerintah daerah. Hal ini yang membuat para petani menilai pemerintah masih belum all out dalam mendukung kesejahteraan petani.
"Saya berharap keberpihakan kepada petani tidak setengah-setengah sehingga petani bisa melakukan aktifitas bertani dengan tenang, karena alokasi pupuknya sudah disediakan dengan pasti," kata Ketua KTNA Jawa Barat H Otong Wirant kepada Liputan6.com, Jumat (15/1/2021).
Hingga 10 Januari 2020, dari 514 kota/kabupaten di Indonesia, baru 93 kabupaten/kota yang sudah menerbitkan SK. Masih terdapat 421 kabupaten/kota yang belum menerbitkan SK tersebut. Akibatnya, meski produsen dan distributor sudah menyediakan komoditas pupuk ini hingga di pelosok daerah, pupuk bersubsidi sama sekali belum disalurkan kepada petani hingga terbitnya SK.
Alhasil, petani terpaksa membeli pupuk dengan harga non subsidi. Hal tersebut pula yang menyebabkan mengemukanya isu mahalnya harga pupuk lantaran petani e-RDKK yang biasa beli pupuk subsidi terpaksa harus membeli pupuk non subsidi sampai dengan SK di daerahnya terbit, demi tetap bisa menanam dan produktif.
"Iya itu lah kenyataan yang harus dihadapi petani. Kita sudah bersuara tapi birokrasi tidak memperhatikannya. Saya berharap keberpihakan kepada petani tidak setengah-setengah, sehingga petani bisa bertani dengan tenang karena alokasi pupuknya sudah disediakan dengan pasti," tegasnya.
"Sekarang sudah bisa dengan SK Dinas. Itu harusnya satu hari selesai. Meski sedang pandemi, sebagian PNS WFH, itu tidak bisa jadi alasan karena bisa dikerjakan di mana saja," pungkas dia.
Advertisement