Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menyoroti maraknya perkara keberatan sita yang masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus megakorupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Dia pun menyampaikan perlunya hukum acara yang jelas terkait penggunaan pasal 19 UU Tipikor yang mengatur mengenai keberatan atas perampasan aset milik pihak ketiga yang beritikad baik, dalam perkara korupsi yang terkait dengan TPPU.
Advertisement
Alasannya, tidak ada batasan maupun aturan yang tegas bagi hakim dalam menangani perkara keberatan yang terkait dengan penyitaan aset dalam kasus TPPU.
Sejauh ini, lanjut dia, sudah ada sekitar 80 gugatan perkara keberatan dari pihak ketiga yang terkait dengan perampasan aset, berupa polis milik nasabah dan rekening efek yang ikut disita dalam kasus Jiwasraya.
“Banyaknya keberatan terkait putusan perampasan aset dalam kasus tersebut, mengindikasikan ada yang tidak pas dalam proses sita aset yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam perkara TPPU,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu, 17 Januari 2021.
Akibatnya, banyak aset-aset yang tidak terkait dengan tindak pidana asal ataupun tidak terkait dengan TPPU, ikut disita. Seperti yang dialami ribuan nasabah dan pemegang polis asuransi PT Asuransi Jiwa Wanaartha, yang hingga kini masih memperjuangkan nasibnya.
Di luar itu, ada banyak pemilik rekening efek yang sahamnya ikut disita dan juga tengah mengajukan keberatan atas putusan sidang PN Tipikor yang melakukan perampasan atas aset mereka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini menambahkan, dalam penanganan kasus TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum perlu berhati-hati. Sebab, dalam hal ini aparat memang bisa melakukan proses penyitaan baik melalui UU Tipikor, maupun dengan Undang-Undang TPPU, atau keduanya.
Dalam UU Tipikor, penyidik dimungkinkan untuk menyita aset-aset mana saja yang diduga ada kaitannya dengan terpidana. Bahkan juga aset-aset yang tidak terkait dengan perkara, sebagai persiapan uang pengganti, sesuai pasal 18 UU Tipikor. Sejauh penyitaan tersebut memperoleh izin dari lembaga atau institusi yang berwenang.
“Sebaliknya dalam perkara TPPU tidak diperlukan izin dari lembaga berwenang, namun tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Yakni, aset-aset yang disita hanya sebatas harta kekayaan atau aset yang didapatkan dari hasil kejahatan korupsi itu sendiri," katanya.
Yenti menambahkan, indikasi adanya ‘kesalahan' dalam proses penyitaan aset TPPU Jiwasraya ini juga bisa dilihat dari selisih jumlah aset yang disita penyidik dengan jumlah kerugian negara dalam kasus tersebut.
Berdasarkan audit BPK, jumlah kerugian negara dalam kasus korupsi ini mencapai Rp 16,8 Triliun. Namun dari hasil penyitaan penyidik telah menyita aset senilai lebih dari Rp 18 Triliun. Di luar itu, masih ada kewajiban uang pengganti. Artinya, ada pendekatan yang tidak tepat dalam proses penyitaan dengan menggunakan dua Undang-Undang tersebut.
“Seolah-olah ada dua angka kerugian yang berbeda. Padahal seharusnya jumlah kerugian dan jumlah angka yang disita seharusnya sama, karena objeknya sama," katanya.
Dengan kata lain, jika penyitaan sudah dilakukan dengan menggunakan TPPU, uang pengganti yang diatur dalam Undang-Undang korupsi hanya sejumlah sisa kerugian yang gagal disita dengan UU TPPU.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pasal 19 UU Tipikor Perlu Dikaji Ulang
Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengatakan, pada prinsipnya pasal 19 UU Tipikor memang memberi ruang bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan, untuk mengajukan gugatan perdata; atau keberatan terhadap putusan pidana yang terkait dengan penyitaaan harta benda atau aset mereka yang ikut disita dalam suatu perkara korupsi.
Namun persoalannya, tidak ada hukum acara lebih lanjut dan aturan yang lebih jelas bagaimana proses pengajuan keberatan dilaksanakan dan konsekuensinya bagi putusan pidana yang sudah dijatuhkan tersebut.
Dengan kata lain, pasal dalam UU Tipikor tersebut belum mengatur bagaimana konsekuensi hukum dalam perkara keberatan atas putusan perkara pidana yang sudah dijatuhkan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan putusan yang saling bertentangan.
“Katakanlah di satu sisi putusan pidananya merampas aset milik pihak ketiga, di sisi lain gugatan keberatannya diterima. Lalu mana putusan yang akan dijadikan pegangan?," ujarnya.
Karena itu perlu adanya pengkajian ulang dan studi mendalam mengenai penerapan pasal tersebut agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Chairul menambahkan, gugatan perdata terkait perampasan seharusnya bisa dihindari karena sebelum proses penyitaan, ada mekanisme atau proses verifikasi.
“Namun faktanya dalam banyak kasus, karena keterbatasan waktu, aset-aset tersebut langsung diputuskan dirampas oleh pengadilan. Seperti yang terjadi dalam kasus Jiwasraya. Di mana perampasan juga dilakukan terhadap aset-aset yang tidak ada hubungan dengan kasus korupsi yang dilakukan terpidana,” ujarnya.
Dalam hal putusan sudah dijatuhkan, pasal 19 UU Tipikor memang memberikan ruang pihak ketiga untuk mengajukan keberatan terkait perampasan aset maksimal dua bulan setelah putusan sita.
"Masalahnya, tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai prosedur, mekanisme dan tata cara dijalankannya persidangan pidana yang bisa menjadi acuan dalam membuktikan dan memutus perkara keberatan tersebut," katanya.
Advertisement