Alih Fungsi Lahan Tambang dan Sawit Biang Kerok Banjir Kalsel?

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, banjir yang merendam Kalimantan Selatan disebabkan alih fungsi lahan. Dia menyebut, 50 persen lahan di Kalimantan Selatan sudah dikuasai pertambangan dan kelapa sawit.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Jan 2021, 14:47 WIB
Mobil Land Cruiser Presiden Jokowi Menerobos Banjir di Kalimantan Selatan (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Banjir merendam Kalimantan Selatan pada 12 Januari 2021. 15 Warga meninggal dunia, 39.549 jiwa mengungsi, 24.379 rumah terendam dan 10 kabupaten dan kota terdampak.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, banjir yang merendam Kalimantan Selatan disebabkan alih fungsi lahan. Dia menyebut, 50 persen lahan di Kalimantan Selatan sudah dikuasai pertambangan dan kelapa sawit.

"Jadi dari banyak data-data menyebutkan 1,2 juta hektar dari luas Kalsel sudah konsesi pertambangan, sudah berubah alih fungsi lahan, hutannya sudah gundul mengalami deforestasi," ujarnya saat dihubungi merdeka.com, Selasa (19/1).

Pengalihan fungsi lahan 1,2 juta hektar membuat kawasan hutan di Kalimantan Selatan menjadi kritis. Sehingga saat hujan turun dengan intensitas sedang, hutan tak bisa menyerap air dengan baik. Akibatnya, air hujan mengalir ke sungai dan meluap.

"Jadi jelas perubahan alih fungsi lahan menjadi tambang, sawit, hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi penyebab utama kerusakan kawasan di Kalimantan Selatan yang saat ini mengakibatkan banjir," jelasnya.

Menurut Merah Johansyah, pemerintah sebetulnya sudah tahu pengalihan fungsi lahan merupakan penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan. Bahkan, pemerintah tahu kawasan transmigrasi hingga kawasan pertanian di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.

"Jadi tidak usah pura-pura (tidak tahu). Pemerintah mengatakan (penyebab banjir) karena curah hujan itu mengejek akal sehat," ucapnya.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan hujan dengan intensitas sedang menyebabkan terjadinya banjir di Kalimantan Selatan pada Selasa (12/1). Pemerintah Kalimantan Selatan telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir sejak 14 Januari 2021.

 

Saksikan Video Terkait di Bawah Ini:


814 Lubang Tambang di Kalsel

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau banjir Kalimantan Selatan (Kalsel) dari atas jembatan Pakauman yang dilintasi Sungai Martapura, Kabupaten Banjar. (Dok Setpres)

Jatam membeberkan data terdapat 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan. Ratusan lubang tambang ini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Selatan.

"Lubang tambang saja di sana ada 814 di seluruh Kalsel," kata Johansyah.

Selain lubang tambang, Merah Johansyah mencatat terdapat 700 hektar lahan tambang di Kalimantan Selatan tumpang tindih dengan permukiman masyarakat. Bahkan, kawasan transmigrasi di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.

"Transmigrasi di kawasan pemukiman sudah digusur orang-orang itu, dirampas tanahnya. Sudah lama itu," jelas dia.

Johansyah menyampaikan, 251 ribu hektar pertambangan kini berada di kawasan pertanian dan ladang Kalimantan Selatan. Sementara itu, 464 ribu hektar pertambangan berada di 34 kawasan hutan.

Gunung Meratus yang memiliki ketinggian 1.901 mdpl (meter di atas permukaan laut) sudah dikaveling untuk pertambangan. Padahal, Gunung Meratus merupakan jantung Kalimantan Selatan.

Menurut Johansyah, penguasaan kawasan pertambangan di Kalimantan Selatan bukan sembarang orang. Dia menyebut mereka yang memiliki penguasaan lahan mulai dari lingkar birokrat, politikus, sampai dengan pengusaha-pengusaha yang berelasi dengan pemerintah.

"Orang-orang yang terlibat bisnis di Kalsel adalah orang-orang yang terlibat dalam politik Indonesia," kata dia.

 


Ada di Tangan Jokowi

Johansyah mengatakan, kunci penanganan bencana banjir di Kalimantan Selatan ada di tangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Presiden, kata dia, bisa memerintahkan jajarannya untuk mencabut izin pertambangan di Kalimantan Selatan.

"Pak Jokowi bisa melakukan sesuatu tinggal hubungi Kementerian ESDM dan Kementerian LHK. Koordinasikan untuk pencabutan izin, untuk moratorium perizinan tambang, kemudan evaluasi perizinan tambang," kata Johansyah.

Namun, jika Jokowi tidak menginstruksikan pencabutan izin pertambangan maka melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 71 dan 79 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan, pemerintah pusat dan daerah wajib mengawasi dan mengevaluasi kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

Pemerintah juga, kata Johansyah, berhak tidak menerbitkan izin atau membatalkan izin kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

"Ya, kalau enggak dia (Jokowi) melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengutarakan kekecewaannya atas kunjungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang tidak memanggil para pemilik perusahaan-perusahaan yang menyebabkan banjir di Kalimatan Selatan.

Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menjelaskan, tidak semua persoalan harus ditangani Jokowi.

"Tidak harus semua di tangani Presiden," kata Heru kepada merdeka.com, Selasa (19/1).

Heru menuturkan, Jokowi sudah memerintah menteri terkait untuk membuat program jangka panjang terkait bencana banjir tersebut. Serta menganalisa termasuk penyebab dan analisa lingkungan.

"Sudah di perintahkan kepada menteri terkait sebagaimana bidang untuk membuat program jangkan panjang dan melakukan analisa termasuk penyebab dan analisa Lingkungan dan perubahan lingkungan," kata Heru.

 


Aparat Jangan Tutup Mata

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan, para korporasi tambang maupun sawit yang diduga menjadi sebab banjir Kalsel tersebut harus bertanggung jawab.

"Merinding saya baca data dari Walhi lahan di Kalsel diperkosa para penambang dan perusahaan sawit. Siapa mereka?," ujarnya lewat pesan singkat, Selasa (19/12/2021).

"Mereka mesti bertanggung jawab, berapa jumlah kerugian, fasilitas umum yang rusak dan derita rakyat kecil terendam banjir," tambah dia.

Waketum PKB ini mendesak agar aparat berwenang secepatnya bertindak untuk menertibkan dan meminta pertanggung jawaban ke para penguasa lahan itu. Aparat jangan menutup mata apalagi takut menghadapi mereka.

"Saya pribadi belum tahu persis siapa penguasa tambang dan sawit di Kalsel. Cuma dari slentingan saja mereka adalah orang sakti punya ilmu kebal yang tidak bisa disentuh hukum, siapapun yang menyentuhnya bisa menjadi jadi abu," ungkapnya.

Menurutnya, curah hujan yang tinggi tidak akan menyebabkan banjir jika luas hutan primer dan sekunder tidak terkikis.

“Dari 3,7 juta hektar luas lahan di Kalimantan Selatan, 1,2 juta hektar dikuasai pertambangan, 620 hektar kelapa sawit,” kata Kisworo kepada merdeka.com, Senin (18/1).

Dia memaparkan, 33 persen lahan atau 1.219.461,21 hektar sudah dikuasai izin tambang, sementara 17 persennya atau 620.081,90 hektar sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, luas hutan sekunder 581.188 hektar dan luas hutan primer hanya 89.169 hektar.

“15 persen atau 234,492,77 hektar IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam) dan 6 persen atau 567.865,51 hektar IUPHHK-HT (Hutan Tanaman). Hutan sekunder hanya 89.169 hektar, hutan primer 581.188 hektar,” ujarnya.

“Sisa lahan hanya 29 persen,” ungkap Kisworo.

Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah untuk untuk mengevaluasi seluruh izin-izin alih fungsi lahan yang dikeluarkan. Sebab kata dia, alih fungsi lahan telah menyebabkan degradasi hutan. Dia meminta pemerintah untuk berani mencabut izin para perusahaan yang hasil audit nantinya terbukti memicu bencana banjir di Kalimantan Selatan ini.

“Saya mendesak Pak Jokowi untuk memanggil semua pemilik perusahaan, tambang, sawit, dan sebagainya. Kita juga mendesak agar dibuat Satgas atau komisi khusus untuk mereview dan mengaudit semua izin-izin itu,” tegasnya.

Kisworo mengatakan, banjir kali ini merupakan banjir terparah sepanjang sejarah.

"2006 Kalsel pernah banjir besar juga tapi tidak separah ini. Ini terparah, bukan salah hujan. Sekarang kalau musim hujan, banjir. Musim kering, karhutla," tutupnya.

 

Reporter: Titin Supriatin, Ahda Bayhaqi, Genan Kosasih / merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya