Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCPEN) Airlangga Hartarto, menargetkan ada penambahan jumlah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang go digital atau terintegrasi dalam sistem elektronik.
“Dari 3,7 juta UMKM yang sudah go digital diharapkan bisa jadi pengungkit dan menjadi contoh kepada UMKM-UMKM yang lain, kita berharap bahwa minimal bisa double angkanya menjadi 6 jutaan di tahun 2021,” kata kata Airlangga Hartarto dalam Press Briefing terkait Program 3T, Gerakan Donor Plasma, UMKM Digital, serta Bantuan dan Solidaritas, Kamis (21/1/2021).
Advertisement
Adapun sebelum adanya pandemi covid-19 di Indonesia, ada sekitar 8 juta pelaku UMKM yang tercatat sudah go digital. Kemudian bertambah sebanyak 3,7 juta pada 2020 lalu, dan ditargetkan ada penambahan agar bisa tercapai 6 juta pelaku UMKM yang go digital di 2021.
“Kalau kita lihat, tentu kita berharap bahwa betul-betul para UMKM-nya itu bisa naik kelas juga bukan hanya platformnya yang naik kelas, tapi pelaku UMKM-nya juga bisa naik kelas,” katanya.
Kendati begitu, sejauh ini masih ada kendala untuk mendorong para pelaku UMKM beralih menjadi digital. Namun diketahui e-commerce ataupun kegiatan-kegiatan working space itu masih berada di kota-kota Besar, seperti di Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Semarang, Batam, dan di Bali.
Oleh karena itu Pemerintah pusat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah hingga untuk membantu pelaku UMKM naik kelas. Pihaknya optimis, dengan adanya berbagai bantuan dari Pemerintah untuk seperti bantuan modal kerja bisa mendorong UMKM go digital.
“Melalui platform, tentu kita mendorong bahwa jumlah UMKM nya yang 64,2 juta ini yang mengikuti program UMKM ini. Saat ini ada sekitar 2,4 juta UMKM, nah ini sekarang kita bantu untuk mendapat modal kerja,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Krisis Keuangan saat Pandemi, UMKM Sulit Bayar Sewa Tempat dan Gaji Karyawan
Hasil Survei UNDP Indonesia menyebutkan UMKM di Indonesia mengalami kesulitan dari sisi keuangan selama masa pandemi covid-19, salah satunya kesulitan dalam membayar biaya sewa tempat.
“Ada tiga dampak keuangan utama yang di yang dirasakan oleh para UMKM, yang pertama mereka kesulitan untuk membayar hutang, kemudian membayar biaya tetap seperti sewa tempat, dan yang terakhir kesulitan pembayaran gaji karyawan,” kata Ekonom UNDP Indonesia Rima Prama Artha, dalam Jakpost UpClose #27: COVID-19's impact on Indonesian MSMEs, Kamis (21/1/2021).
Adapun survei ini dilakukan kepada 1100 UMKM yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia, yang mana 60 persen diantaranya berasal dari Pulau Jawa, dan 40 persen berada di luar pulau Jawa. Survei ini dilakukan pada bulan Agustus tahun 2020.
Lebih lanjut Rima menjelaskan, dari sisi jenis kelamin pemilik usaha terdapat perbedaan terkait masalah keuangan. Bagi pemilik UMKM perempuan, mayoritas kesulitan utamanya adalah pembayaran hutang, sementara untuk pemilik usaha laki-laki ini lebih kesulitan membayar biaya tetap rental sewa tempat.
Menurutnya, mayoritas ini sebenarnya merasakan dampak yang negatif dari sisi omzet penjualan, laba, aset, dan juga penurunan jumlah karyawan. Penurunan jumlah karyawan ini terjadi untuk semua tipe jenis usaha kecuali kelompok mikro, sebab usaha mikro jumlah karyawannya tidak terlalu banyak.
“Jadi di sini bisa dilihat paling besar 88 persen itu merasakan adanya penurunan profit, sementara untuk penurunan tenaga kerja ini paling dirasakan oleh usaha menengah dan besar 79 persen yang menyatakan bahwa mereka harus mengurangi jumlah karyawannya,” jelasnya.
Selain dampak kesulitan dari sisi keuangan, UMKM juga merasakan dampak yang signifikan dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran ada 2 hal utama, yakni pertama sebanyak 47 persen dari UMKM ini menyatakan mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku produksi.
Kemudian 75 persen dari UMKM juga merasakan adanya kenaikan dan harga harga bahan baku sehingga sulit mereka berproduksi. Kedua, dari sisi permintaan, 90 persen dari UMKM menyatakan permintaan dari produk mereka sangat menurun akibat pandemi covid-19.
“UMKM juga merasa kesulitan untuk menentukan harga karena fluktuasi dari bahan baku. yang terakhir mereka juga menyebutkan terutama di awal pandemi ada PSBB ketat yang membuat para UMKM kesulitan untuk mendistribusikan barang dagangannya,” ujarnya.
Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut, para pelaku UMKM melakukan adaptasi dengan cara bertransformasi dari offline menjadi online. Sehingga jumlah UMKM yang berpindah menjadi online meningkat, dari sebelumnya 28 persen menjadi 44 persen.
“Akan tetapi transisi ini belum setinggi yang kita harapkan karena mereka masih mengalami kendala juga untuk mengoperasikan online,” pungkasnya.
Advertisement