23-1-1950: Israel Klaim Yerusalem Sebagai Ibu Kota

Pada 23 Januari 1950, Israel secara sepihak mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 23 Jan 2021, 06:00 WIB
Seorang pria Yahudi ultra-Ortodoks mengayunkan ayam di atas kepalanya sebagai bagian dari ritual Kaparot di Yerusalem, Rabu (23/9/2020). Sebagian percaya, ritual Kaparot akan membebaskan mereka dari dosa-dosa yang ditransfer ke ayang yang dipotong. (AP Photo/Maya Alleruzzo)

Liputan6.com, Yerusalem - Pada 23 Januari 1950, parlemen Israel (Knessel) mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Menurut dokumen PBB pada 1997, Israel lantas memindahkan pemerintahannya ke Yerusalem. 

Bertambahnya populasi Yahudi di wilayah Palestina tak terlepas dari Deklarasi Balfour di 1917 serta mandat dari Liga Bangsa-bangsa pada 1917.

Sepuluh tahun setelah adanya mandat agar adanya "rumah nasional untuk masyarakat Yahudi", sekitar 100 ribu imigran Yahudi mulai masuk Palestina, sehingga populasi warga Yahudi lantas bertambah dari 10 persen menjadi 17 persen.

Warga Yahudi di kota Yerusalem juga bertambah dari 34.100 menjadi 53.800 pada 1931. PBB mencatat bahwa bertambahnya imigrasi Yahudi di Palestina menyebabkan ketegangan antar masyarakat.

Pada Agustus 1929, sudah terjadi kerusuhan di bagian barat Tembok Ratapan. Hingga kini, konflik antara Palestina dan Israel masih memanas terkait isu Yerusalem.

Meski pemerintah dunia masih berdiskusi mengenai status Yerusalem, pihak Israel kerap mengambil tindakan sepihak. Pada 1948, Israel sudah membangun Mahkamah Agung di Yerusalem, dan tahun berikutnya presiden Israel mengambil sumpah di kota itu.

Sekarang, Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel oleh Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump. AS telah memindahkan kedutaan besar mereka ke Yerusalem.

Pemerintahan Presiden Joe Biden tak berniat untuk memindahkan kembali kedubes AS ke Tel Aviv.

Load More

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Joe Biden Tetap Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Presiden Joe Biden berbicara selama Pelantikan di US Capitol di Washington, Rabu (20/1/2021). Joe Biden mengalahkan Donald Trump di pemilu AS 2020 dengan perolehan 81 juta suara. (AP Photo/Patrick Semansky, Pool)

Presiden AS Joe Biden akan tetap mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, yang berarti bahwa pemerintahannya tidak berniat untuk mengubah kebijakan yang dikeluarkan oleh pendahulunya, Presiden Donald Trump. 

Meski demikian, Biden juga akan mengupayakan pembentukan negara Palestina. 

Hal itu disampaikan oleh calon Menteri Luar Negeri AS pilihan Biden, Antony Blinken dalam sidang konfirmasi pencalonannya di Senat pada Selasa 19 Januari 2021 waktu setempat.

Tanpa ragu, Blinken menjawab "Ya dan ya," saat ditanya pada sidang konfirmasi oleh Senator Ted Cruz, tentang apakah AS akan mempertahankan sikapnya soal Yerusalem dan mempertahankan kedutaannya di kota tersebut, seperti dikutip dari AFP, Rabu (20/1).

Pada 2017, Trump menuai kontroversi setelah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS ke kota itu. Langkah Trump tersebut berlawanan dengan konsensus internasional, di mana kota itu telah lama diperebutkan Israel-Palestina dan berada dalam status quo.

Blinken mengisyaratkan dalam sidang konfirmasi di Senat, bahwa Biden akan berupaya lebih keras untuk merealisasikan pembentukan negara Palestina, meski mengakui kesulitan yang mungkin dihadapi.

"Satu-satunya cara untuk memastikan masa depan Israel sebagai negara Yahudi yang demokratis, adalah memberikan Palestina negara yang menjadi hak mereka. Hal ini menjadi solusi untuk dua negara,"jelas Blinken.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya