Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyebut varian baru virus penyebab COVID-19 yang ditemukan di Inggris memiliki potensi sebabkan kematian lebih tinggi ketimbang varian sebelumnya.
"Kami telah diberi tahu bahwa selain menyebar lebih cepat, sekarang juga tampaknya ada beberapa bukti bahwa varian baru yang ditemukan di London dan wilayah tenggara Inggris, mungkin terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi," ujar Johnson dalam konferensi pers, Jumat (22/01/2021), dikutip dari laman Channel News Asia.
Advertisement
Namun, Johnson menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, vaksin yang digunakan di Inggris yakni Pfizer dan AstraZeneca tetap efektif untuk menangkal varian baru tersebut.
Sementara itu, Kepala Penasihat Ilmiah Patrick Vallance mengatakan, bukti terkait varian tersebut lebih mematikan, masih "belum kuat", karena dan berasal dari serangkaian informasi yang berbeda.
Patrick menjelaskan, saat pasien positif COVID-19 varian baru di rawat di rumah sakit, kemungkinan ia akan meninggal lebih besar ketimbang pasien COVID-19 dengan varian normal.
"Tidak ada bukti nyata peningkatan mortalitas bagi pasien yang dirawat di rumah sakit. Namun, ketika dilihat dari data mereka yang dites positif, ada bukti bahwa ada peningkatan risiko (kematian) bagi mereka yang terpapar varian baru, dibandingkan virus lama," terangnya.
Patrick menyebut, varian baru yang 30 persen hingga 70 persen lebih menular tersebut, kemungkinan 30 persen lebih mematikan dari varian normalnya.
Ia menjelaskan, 10 dari 1.000 pria berusia enam puluhan yang positif COVID-19 varian normal, diperkirakan akan meninggal. Sementara untuk varian baru, jumlahnya meningkat hingga 13 atau 14 per 1.000 orang.
"Saya ingin menekankan bahwa ada banyak ketidakpastian seputar angka-angka ini, dan kami perlu lebih banyak pekerjaan untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Tapi jelas ada kekhawatiran bahwa ini meningkatkan mortalitas serta peningkatan penularan COVID-19," ujar Patrick dikutip laman BBC.
Upaya Lockdown
Varian baru dengan nama VUI - 202012/01 tersebut, diketahui telah menjadi varian yang paling umum menyerang warga Inggris, dan menyebabkan layanan kesehatan di Inggris kewalahan.
Inggris pun telah menerapkan kebijakan lockdown pada 4 Januari lalu untuk membendung lonjakan kasus akibat varian baru tersebut.
Berkat kebijakan tersebut, Kementerian Kesehatan Inggris melaporkan jumlah kasus baru menurun antara 1 hingga 4 persen per hari. Namun, Kantor Statistik Nasional di Inggris memperkirakan prevalensi COVID-19 secara keseluruhan tetap tinggi, dengan sekitar satu dari 55 orang terjangkit virus.
Johnson juga menyebut terlalu dini untuk mengatakan kapan lockdown selesai. Ia berharap program vaksinasi massal akan membuka jalan untuk Inggris kembali normal pada musim semi mendatang.
Berdasarkan data yang diterbitkan pemerintah Inggris, negara tersebut telah memberi dosis pertama vaksin ke 5,38 juta warganya, dengan 409.855 penerima dalam 24 jam terakhir.
Sementara jumlah kasus positif COVID-19 di Inggris, berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), per Jumat (22/01/2021) pukul 07.11, kasus positif di Inggris telah mencapai 3.543.650 kasus, dengan diikuti 94.580 kasus kematian. Jumlah kasus kematian tersebut merupakan yang tertinggi di Eropa.
"Kasusnya masih sangat tinggi dan kita harus tetap waspada untuk mengendalikan virus ini. Sangat penting bahwa setiap orang terus tinggal di rumah, apakah mereka sudah mendapat vaksin atau tidak," jelas Kementerian Kesehatan Inggris dalam sebuah pernyataan.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement