Memahami Kelaparan Tersembunyi yang Belum Banyak Disadari Masyarakat Indonesia

Kelaparan tersembunyi berbeda dengan kelaparan pada umumnya. Meski tak kentara, dampaknya bakal dirasakan dalam jangka panjang.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 25 Jan 2021, 18:03 WIB
Ilustrasi Lapar di Malam Hari Credit: freepik.com

Liputan6.com, Jakarta - Istilah hidden hunger alias kelaparan tersembunyi sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 1990-an, tetapi belum banyak orang Indonesia yang memahami atau mungkin mendengarnya. Jadi, apakah kelaparan tersembunyi itu?

Prof. Dodik Briawan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB University, menerangkan bahwa istilah itu mengacu pada kekurangan zat gizi mikro yang dialami manusia. Zat gizi yang dimaksud adalah vitamin dan mineral.

"Beda dengan kelaparan biasa. Biasanya kalau kelaparan terlihat perutnya buncit, tulang iganya sampai kelihatan, tapi kalau kelaparan tersembunyi tidak terlihat," jelasnya dalam webinar Kelezatan Masakan Bergizi Seimbang dengan Iodium untuk #BantuTumbuhSesuai, Senin (25/1/2021).

Meski demikian, kelaparan tersembunyi tak bisa diabaikan karena berdampak jangka panjang. Kondisi itu bisa terjadi pada berbagai siklus umur, mulai dari balita, remaja, hingga orang dewasa.

"Di dalam Global Hunger Index 2020, Indonesia menempati posisi ke-70 dari 107 negara. Itu menunjukkan negara kita belum terlalu baik mengelola masalah gizi," sambung Dodik.

Merujuk pada tema Hari Gizi Nasional tahun ini yang mengangkat isu remaja harus bebas anemia, pertanda kelaparan tersembunyi masih jadi isu besar. Anemia merupakan salah satu jenis hidden hunger, yakni kekurangan zat besi. 

"Sekitar 20--40 persen populasi kita mengalami defisiensi zat gizi mikro tadi," sebut Dodik.

Hal senada juga diungkap Kasi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan, Hera Nurlita. Ia menyebut, meski status gizi Indonesia membaik dalam lima tahun terakhir, masih ada kesenjangan antara konsumsi karbohidrat dan protein dengan konsumsi buah dan sayur.

"Masalah gizi ini cukup kompleks, tidak hanya tentang asupan, tapi juga penyakit dan lain-lain. Di masa pandemi, kita bahkan butuh kecukupan gizi lebih tinggi," sambungnya.

Mengintegrasikan edukasi yang tepat agar masyarakat mampu menyediakan kebutuhan dengan pangan lokal, menyediakan makanan bergizi seimbang, hingga mengurangi sisa makanan agar menghemat pengeluaran, merupakan beberapa strategi yang diperlukan untuk mengatasi kelaparan tersembunyi itu.

Load More

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Dampak Jangka Panjang

ilustrasi tips untuk merayu anak mengonsumsi buah dan sayuran/pexels

Dodik menjelaskan, kelaparan tersembunyi bisa berakibat fatal bila tak tertangani, terlebih spektrum hidden hunger cukup luas. Bila kekurangan mikronutrien, proses metabolisme, produksi energi, proses tumbuh kembang anak, hingga perawatan jaringan jadi terganggu.

Dalam skala lebih besar, negara juga berpotensi kehilangan lima persen dari PDB nasional berdasarkan studi World Bank. Bahkan, kemungkinan terburuk akan kehilangan potensi dari generasi mendatang.

Cara mengatasinya terbilang gampang-gampang sulit. Yang terpenting adalah mengisi piring makan dengan proporsi yang tepat. Dokter ahli Gizi Diana F. Suganda mengatakan, isi piring idealnya sepertiga berisi karbohidrat, sepertiga adalah sayur-sayuran, dan sepertiga terakhir adalah lauk-pauk. Isinya juga tak harus mahal, tapi bisa memanfaatkan jenis-jenis makanan lokal yang bermacam-macam.

"Paling gampang kita variasikan. Bahan makanan sehari-hari divariasikan karena nggak ada bahan makanan mengandung semua (nutrisi). Karena ibu inti dari keluarga, ibu harus tahu dulu cara menyiapkan makanan bergizi," jelas Diana.

Setelah memperkaya pengetahuan, orangtua harus mengimplementasikannya. Ia menyarankan agar para ibu untuk menyusun menu dalam seminggu agar kelihatan akan makan apa sekaligus memudahkan dalam menyiapkan bahan.


Kiat Makan Sehat

Infografis Kiat Makan Sehat Kala Lebaran (Liputan6.com/M. Iqbal)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya