Liputan6.com, Jakarta - Perjanjian pengalihan dan penyertaan modal serta induk jual beli semen (perjanjian offtake) dilakukan oleh PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) dengan PT Semen Indonesia Industri Bangunan serta Taiheiyo Cement Corporation (TCC).
Perjanjian diteken pada Selasa, 26 Januari 2021 tersebut mengatur penyertaan modal oleh TCC pada SMCB melalui penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.
Advertisement
Dilansir keterbukan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Rabu, (27/1/2021), Aulia Mulki Oemar, Presiden Direktur Solusi Bangun Indonesia menyebut, investasi yang akan digelontorkan TCC rencananya mencapai USD 220 juta.
"Pelaksanaan penerbitan saham baru dengan HMETD akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," tulis keterangan tersebut.
Bersamaan dengan rencana investasi TCC, Perseroan juga menandatangani Perjanjian Offtake dengan TCC dalam rangka peningkatan utilisasi pabrik semen.
"Perjanjian Offtake adalah perjanjian induk jual beli semen, yang mana dalam pelaksanaannya Perseroan akan memperhatikan ketentuan perundangundangan yang berlaku," tulisnya.
Dengan penandatanganan perjanjian offtake ini, struktur permodalan dan posisi perseroan diharapkan akan terus meningkat, terlebih saat melaksanakan kegiatan usahanya.
"Bahwa selain dari pada informasi yang telah kami ungkapkan diatas pada saat ini tidak terdapat kejadian, informasi atau fakta material lain yang tidak kami ungkapkan, selain informasi tersebut," tutup keterangan tersebut.
Saham Solusi Bangun Indonesia (SMCB) naik 22,11 persen ke posisi 1.740 pada pukul 09.52 WIB. Saham SMCB sempat dibuka naik 25 poin ke posisi 1.450. Saham SMCB sempat berada di level tertinggi 1.780 dan terendah 1.450 per saham. Nilai transaksi Rp 4,7 miliar.
KPPU Denda Produsen Semen China
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan denda sebesar Rp 22,35 miliar kepada PT Conch South Kalimantan Cement (CONCH). Perusahaan asal China tersebut, dinilai terbukti menjual produk semen di bawah harga wajar dengan tujuan akhir monopoli pasar.
“Terlapor terbukti melanggar Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Ketua Majelis Komisi Ukay Karyadi, SE ME, seperti melansir Antara, beberapa waktu lalu.
Pasal 20 UU Nomor 5 1999 tentang Persaingan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pada tahun 2015, CONCH di Kalimantan Selatan menjual produknya berupa semen jenis Portland Composite Cement (PCC) seharga Rp 58.000 per zak 50 kg.
Sementara Semen Gresik dari BUMN Semen Indonesia untuk berat dan kemasan yang sama dibanderol antara Rp 60.000-Rp 65.000.
Demikian pula pada tahun-tahun berikutnya, yang perlahan-lahan membuat semen dari luar Kalimantan tersingkir dari pasar.
“Perbedaan harga itu mungkin terlihat kecil, tapi bagi pembeli untuk proyek misalnya, yang membeli dalam jumlah besar, maka beda harga itu jadi cukup lumayan,” kata Budi, pemilik toko bahan bangunan di Balikpapan.
Pembeli dalam jumlah kecil pun akan secara alamiah memilih semen dengan harga termurah.
Namun, harga murah yang menguntungkan konsumen tersebut ternyata banting harga di bawah modal produksi per zak.
Advertisement
Selanjutnya
Berdasarkan proses persidangan yang mulai digelar pada 23 Juni 2020 dan telaah Majelis Komisi pada alat bukti yang diperoleh, terbukti CONCH melakukan jual rugi di tahun 2015.
Kemudian menjual di harga selalu di bawah harga pasaran semen PCC di Kalimantan Selatan sampai 2019.
Majelis Komisi menemukan di Laporan Keuangan di tahun 2015, CONCH mengalami kerugian sebagai akibat dari perilaku tersebut.
Sementara penetapan harga yang sangat rendah disimpulkan melalui alat bukti yang menunjukkan harga jual rata-rata CONCH lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan.
Ongkos angkut semen dari pabrik di Jawa ke Kalimantan Selatan diperhitungkan tidak membuat beda harga sangat besar.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa CONCH secara kepemilikan dikendalikan oleh Anhui Conch Cement Company Limited selaku induk utama perusahaan multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang kuat dan berpeluang besar untuk menguasai industri semen secara global.
Dengan dukungan tersebut, CONCH memiliki kemampuan dan kekuatan modal finansial untuk menjalankan strategi bisnis dari proses produksi hingga pemasaran, termasuk strategi penetapan harga agar lebih murah dibandingkan harga pasar atau dari harga pelaku usaha pesaingnya.
Dampaknya, jelas Karyadi, 5 merek semen terlempar dari Kalimantan Selatan meninggalkan CONCH sendirian. “Ini praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” tegasnya.
Maka Majelis pun menjatuhkan denda sebesar Rp 22,38 miliar tersebut dan harus disetor ke kas negara begitu putusannya berkekuatan hukum tetap. Di sisi lain, perusahaan terlapor masih berhak mengajukan banding atas putusan tersebut.