Liputan6.com, Samarinda - Enam warga Samarinda menggugat Presiden Joko Widodo di PTUN Samarinda. Enam warga tersebut di antaranya Hanry Sulistio, Abdul Rahim, Faizal Amri Darmawan, Wahyudi, Siti Zainab dan Lisia.
Selain presiden, mereka juga menggugat Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, istitusi Polri dan Polda Kaltim. Gugatan sudah masuk ke PTUN Samarinda dan teregistrasi dengan nomor 3/G/TF/2021/PTUN.SMD pada Rabu (28/1/2021).
Salah satu penggugat, Hanry Sulistio mengatakan pokok perkara gugatan terhadap Presiden Jokowi karena sebagai kepala negara, ia lalai dan melalaikan perilaku intitusi polri yang campur tangan urusan peradilan pada perkara no. 142/Pdt.G/2020/PN Smr dengan memberikan bantuan hukum kepada oknum yang digugat menggunakan surat kuasa insidentil.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi warga merasa intitusi Polri melindungi oknum dan berhadap-hadapan dengan warga masyarakat, sehingga masyarakat merasa terintimidasi dan terancam keselamatannya," ungkap Hanry di Samarinda, Kamis (28/1/2021).
Padahal kata Hanry, legal standing masyarakat melapor dan menggugat lantaran kewajiban berdasarkan pasal 108 ayat (1) dan (2) KUHAP.
"Bahwa adanya permufakatan jahat mafia tanah dan antek-anteknya yang semestinya disambut didukung oleh segenap penegak hukum RI, bukan malah dilawan oleh intitusi Polri dan didukung Ketua Pengadilan Negeri Samarinda," katanya.
Tak hanya itu, sambung Hanry, kemudian ketua pengadilan tinggi juga dia sebut tidak mendukung tindakan warga dalam mendapatkan alat bukti yang dalam kekuasaan ketua pengadilan tinggi dan menolak permintaan warga.
"Hal tersebut menyebabkan warga menggugat Presiden RI sebagai kepala negara karena dianggap telah lalai dalam menjaga integritas alat negara dan lembaga peradilan kepada fungsi dan tugasnya sesuai UUD 1945," tegasnya.
Abdul Rahim menambahkan langkah ini sebagai langkah hukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh lima tergugat di atas.
"Kami sebagai masyarakat lemah merasa ini sangat miris. Kita sebagai warga negara yang baik tapi kenapa kita dapat perlakukan seperti ini," sambung dia.
Karena persoalan tersebut, Rahim dkk merasa takut dan tertekan karena berhadapan dengan alat negara.
"Kita diteror, kita diintimidasi. Padahal sebenarnya kami kami dapat perlindungan dari negara. Sebagai contoh, kami gugat 12 oknum polisi di Pengadilan Negeri Samarinda tapi mereka menggunakan alat negara untuk menghadapi kami," pungkasnya.
Upaya konfirmasi terhadap tergugat sudah dilakukan, salah satunya ke Humas PN Samarinda Abdul Rahman Karim namun belum direspon. Sementara itu, upaya konfirmasi ke kuasa hukum Polri sudah dilakukan setiap usai sidang, namun yang bersangkutan memilih langsung meninggalkan PN Samarinda.
Upaya konfirmasi itu terkait Polri yang menurunkan kuasa hukum atas nama institusi Polri yang selama ini dipermasalahkan penggugat hingga memunculkan gugatan ke PTUN Samarinda.