Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti anjloknya indeks persepsi korupsi ( IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia yang pada 2020 menjadi 37 poin pada skala 0-100 atau turun 3 peringkat dari tahun 2019. Penurunan itu dinilai akibat politik hukum pemerintah yang semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan padahal dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir Indonesia selalu mengalami peningkatan terkait persepsi pemberantasan korupsi setiap tahun. Hanya pada tahun 2013 dan 2017 yang stagnan di skor 32 dan 37, sedangkan sisanya selalu mengalami kenaikan.
Advertisement
"Untuk itu, merosotnya skor CPI 2020 Indonesia semestinya menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi Pemerintah yang selama ini diambil justru memperlemah agenda pemberantasan korupsi. Skor IPK 2020 juga dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata Kurnia dalam keteranganya yang dikutip Jumat (29/1/2021).
Menurutnya, pangkal persoalan utama pemberantasan korupsi di Indonesia yang terjadi belakangan, ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebijakan pemerintah sepanjang 2019 lalu. Ketika pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK).
"Padahal, sedari awal, masyarakat sudah mengingatkan bahwa kebijakan tersebut keliru dan berpotensi besar melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Bahkan tak hanya itu, organisasi internasional seperti Koalisi United Nation Convention Against Corruption turut mengkritik langkah pemerintah. Namun, seruan penolakan itu diabaikan begitu saja," jelasnya.
Karena itu, lanjut Kurnia, walau hasil survei Transparency International Indonesia (TII) telah menjelaskan adanya penurunan kepercayaan publik pada agenda pemberantasan korupsi, namun hasil itu tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan oleh pemerintah, sampai pada respons negatif dari masyarakat international atas keputusan-keputusan buruk pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di periode 2 tahun terakhir.
"Sebagaimana diketahui, terlepas dari perubahan regulasi kelembagaan KPK, sepanjang tahun 2020, pemerintah dan DPR juga mengundangkan beberapa aturan yang mementingkan kelompok oligarki dan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Sebut saja misalnya Omnibus Law UU Cipta Kerja, tak bisa dipungkiri, pemerintah maupun DPR hanya mengakomodir kepentingan elite dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik," terangnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kegagalan Reformasi Penegak Hukum
Padahal pada saat yang sama, Kurnia menilai legislasi yang dapat menjadi suplemen bagi penguatan pemberantasan korupsi, mulai dari revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai dapat dijadikan prioritas agenda. Namun, berbagai regulasi penting itu justru menggantung tanpa pembahasan.
"Kedua, kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis di sepanjang tahun 2020 lalu. Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan. Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul," sebutnya.
"Ketiga, menurunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. Sejak Komisioner baru dilantik, praktis lembaga anti rasuah itu banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi. Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik Pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini. Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia," tambahnya.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com
Advertisement