BRI Cetak Laba Rp 18,66 Triliun di 2020

Sepanjang tahun 2020, BRI membukukkan laba bersih sebesar Rp 18,66 triliun

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jan 2021, 10:26 WIB
Ilustrasi pelayanan Bank Rakyat Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Laba PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tahun 2020 turun Rp 15,57 triliun. Sepanjang tahun 2020, perusahaan membukukkan laba bersih sebesar Rp 18,66 triliun. Capaian ini turun dibandingkan tahun 2019, yang mampu mencetak laba Rp 34,14 triliun.

"Laba BRI RP 18,66 triliun. Memang menurun dibandingkan tahun lalu karena mencadangkan cukup besar," kata Sunarso dalam konferensi pers secara virtual, Jakarta, Jumat (29/1).

Selama tahun 2020, kredit BRI tumbuh 3,89 persen menjadi Rp 938,37 triliun dari sebelumnya Rp 903,2 triliun.

Dari sisi Non performing loan (NPL) atau rasio kredit bermasalah, tercatat 2,99 persen. Pencadangan yang dilakukan atau NPL coverage sebesar 237,3 persen.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan sebesar 9,78 persen menjadi Rp 1.120,1 triliun. Naik dari sebelumnya hanya Rp 1.021,0 triliun.

"DPK BRI mencapai Rp 1.121,1 triliun atau naik sebesar 9,78 persen," kata dia.

Selain itu, untuk pertama kalinya aset BRI tumbuh di atas Rp 1.500 triliun. Tercatat Aset BRI ini tumbuh menjadi Rp 1.511,81 triliun.

"Aset BRI tumbuh untuk pertama kalinya tumbuh di atas Rp 1.500 triliun tepatnya Rp 1.511,81 triliun," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ini Cara BRI Jaga Kualitas Kredit Selama Pandemi

Direktur Utama Bank BRI Sunarso.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) terus menunjukkan komitmennya untuk membangkitkan dan menyelamatkan UMKM. Kondisi sulit yang dihadapi UMKM di masa pandemi Covid-19 ini mendorong BRI untuk melakukan restrukturisasi serta menyalurkan berbagai stimulus, agar kondisi usaha mereka dapat terjaga dan pelaku UMKM dapat segera bangkit.

Hingga 27 Desember 2020, restrukturisasi kredit yang diberikan BRI kepada debitur terdampak Covid-19 mencapai Rp218,6 triliun, dengan total debitur penerima relaksasi mencapai 2,8 juta. Dari jumlah tersebut, ada 2,72 juta debitur mikro dengan total portofolio Rp 82,85 triliun yang mendapat restrukturisasi dari BRI per November 2020. Pada periode yang sama, ada labih dari 148 ribu debitur mikro dengan nilai kredit Rp3,16 triliun yang berhasil keluar dari kategori berisiko karena mampu membayar kewajibannya.

Pada Triwulan IV 2020, tren restrukturisasi BRI tercatat menurun. Penurunan restrukturisasi terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Hal ini menunjukkan telah terjadi recovery bisnis debitur khususnya setelah masa pemberian stimulus yang mereka dapatkan. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas dan kemampuan membayar para debitur UMKM, dan diprediksi akan berlanjut sepanjang 2021.

Tren kenaikan jumlah debitur UMKM penerima restrukturisasi yang berhasil melunasi kewajibannya dan mendapat pembiayaan baru dari BRI telah meningkat signifikan sejak Juli 2020.

“Ini menunjukkan adanya perbaikan kondisi usaha pelaku UMKM, sejalan dengan proses pemulihan ekonomi nasional. BRI berkomitmen melanjutkan pengelolaan restrukturisasi secara baik, bersamaan dengan upaya mendorong agar kondisi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah semakin pulih. Kami konsisten ingin tumbuh dan berkembang bersama UMKM, bahkan di masa krisis sekalipun,” urai Sunarso.

BRI terus memastikan pengelolaan risiko kredit perusahaan berjalan secara terukur agar kinerja perusahaan serta kemampuan debitur membayar kredit terus terjaga. Tata kelola risiko kredit yang terukur dilakukan meski selama pandemi mayoritas debitur BRI dari segmen UMKM mengalami kesulitan.

UMKM adalah segmen yang paling terdampak pandemi Covid-19. BRI fokus melakukan restrukturisasi di segmen ini yang notabenenya adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. BRI juga terus mengedepankan aspek kehati-hatian dalam menjalankan operasinya, agar tetap dapat menyalurkan kredit untuk UMKM.

Salah satunya dengan menyediakan pencadangan yang memadai untuk mengantisipasi pemburukan kualitas kredit yang ditunjukkan dengan rasio rasio Non Performing Loan (NPL) Coverage mencapai lebih dari 200%.

“Rasio kredit bermasalah BRI atau  Loan at Risk (LAR) hingga kuartal III/2020 mencapai 29,77 persen. Angka ini muncul karena BRI banyak melakukan program PEN, salah satunya restrukturisasi terhadap debitur UMKM”, ujar Sunarso.

Meski angkanya naik dibanding periode setahun sebelumnya, tetapi pengelolaan LAR BRI tetap dikelola dengan bagus. Hal ini terjadi lantaran sejak beberapa tahun lalu BRI telah secara konsisten menaikkan rasio pencadangan dan kecukupan modal.

Hingga kuartal III/2020, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) BRI tercatat sebesar 20,38 persen. Tingginya rasio kecukupan modal ini menunjukkan terjaganya kemampuan perusahaan untuk menghadapi berbagai potensi risiko di masa depan.

“Pilihan bagi kami agar mencari selamat daripada menumpuk laba yang tinggi sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Karena itu, pendapatan BRI setiap tahun kerap banyak dialokasikan untuk pencadangan, yang manfaatnya terasa ketika masa pandemi ini. Kami sangat berhati-hati mengelola risiko dengan memupuk pencadangan yang tinggi,” ujar Sunarso.

Strategi BRI untuk menjaga keberlajutan bisnis BRI tersebut direspon positif oleh pemegang saham yang dicerminkan dengan kinerja saham BRI menyentuh level tertinggi pada harga Rp4.890/saham atau naik 5,8 persen pada perdagangan 20/10, sehingga kapitalisasi pasarnya menembus Rp600 triliun, atau lebih tepatnya Rp603,06 triliun.

“Ini merupakan bukti kepercayaan investor terhadap strategi perseroan dalam menghadapi pandemi yang saat ini masih terjadi. Saham BBRI yang menyentuh rekor tertinggi merupakan sinyal positif bahwa investor memberikan respon positif terhadap penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik oleh BRI. Sustainability itu dihargai lebih tinggi dari pada sekadar membukukan laba yang tinggi,” jelas Sunarso.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya