Produk Mebel Indonesia Diramal Bakal Kian Dicari Warga AS, Ini Sebabnya

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memperkirakan industri mebel mempunyai prospek cerah di 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jan 2021, 16:34 WIB
Pekerja membuat mebel di kawasan Tangerang, Selasa (3/11/2020). Generalized System of Preference (GSP) atau fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk memungkinkan produk UMKM lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memperkirakan industri mebel mempunyai prospek cerah di 2021. Ia memperkirakan permintaan dari negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS), bakal tinggi. 

"Menurut hemat saya, produk industri mebel atau furniture mempunyai prospek baik untuk dikembangkan. Terutama di negara maju pada 2021," tuturnya dalam konferensi pers Trade Outlook 2021, Jumat (29/1/2021).

Dia bilang, prospek cerah itu disokong oleh dua faktor utama. Pertama, selama pandemi Covid-19 berlangsung banyak konsumen di negeri Paman Sam yang doyan untuk mengganti furniture. Menyusul lebih banyaknya waktu yang dihabiskan di rumah dibandingkan di luar rumah.

"Kenapa bapak dan ibu ini terjadi? Karena memang tadinya banyak orang yang work from office, sekarang work from home. Karena begitu mereka ingin memperbarui furniture," jelas dia.

Kedua, berkurangnya pemain utama industri mebel di Pasar AS. Kepastian ini didapat setelah Vietnam selaku pesaing utama Indonesia tengah mendapatkan sanksi oleh pemerintah AS.

"Karena produk furniture industri mebel mereka yang diekspor ke AS kayunya dicurigai mempunyai ilegal," ujarnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Selamatkan Industri Mebel, Pemerintah Diminta Tinjau Regulasi Bahan Baku

Pekerja membuat mebel di kawasan Tangerang, Selasa (3/11/2020). Kementerian Koperasi dan UKM mengajak para pelaku UMKM yang telah siap mengekspor untuk memanfaatkan Generalized System of Preference (GSP). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, kalangan industri mebel dan kerajinan meminta kementerian terkait menghilangkan ego sektoral agar tidak menekan kelangsungan hidup sektor industri ini.

Kewenangan yang dimiliki harusnya disinergikan, menjadi kekuatan meningkatkan nilai tambah industri nasional, bukan menjadi penghambat di tengah kerja keras Presiden Jokowi memulihkan ekonomi nasional di era pandemi covid-19.

Terkait dengan masalah yang tengah dihadapi, pelaku industri mebel nasional Presiden Direktur PT Integra Indo Cabinet Tbk Halim Rusli mengatakan, pemerintah harus meninjau kembali regulasi yang menghambat seperti aturan impor bahan baku penolong.

Pasalnya, kapasitas dan kemampuan industri bahan baku penolong dalam negeri belum mampu mendukung kebutuhan industri mebel dan kerajinan. Dampaknya, tegas Halim Rusli, sangat merugikan.

“Bukan hanya membuat pelaku industri kelimpungan memenuhi permintaan pasar domestik dan ekspor tepat waktu, regulasi yang ada juga menimbulkan konsekuensi kenaikan biaya produksi, sehingga mengerus daya saing,” kata Halim dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10/2020).

Padahal, peluang Industri Mebel dan Kerajinan sangat besar untuk meraup nilai ekspor hingga USD 5 miliar. Sejumlah pelaku industri ini, telah mampu memenuhi permintaan merek dunia dengan volume ekspor masing-masing berkisar 300-700 peti kemas per bulan.

“Regulasi impor tersebut membuat kami terpaksa kesana-kemari mencarinya seperti seperti baja, kain, dan keramik yang sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Ironinya, bahan baku ini tidak dibuat oleh industri dalam negeri. Kalaupun ada, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)-nya rendah dan secara kuantitas dan kualitas tidak memenuhi kriteria. Volume produksi rendah, desain yang tidak adaptif dengan pasar, dan harganya juga tinggi karena masih menggunakan bahan baku impor,” tegas Halim

Masalah Biaya SVLK

Persoalan lain, menurut Direktur PT Multi Manao Indonesia Budianto adalah biaya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang dinilai tinggi. Di satu sisi, aturan sertifikasi ini positif menghilangkan stigma buruk bahwa industri kayu olahan di Indonesia merupakan produsen perusak hutan, pengguna kayu illegal.

Dengan adanya SVL, pelaku industri juga tidak lagi dikenai persyaratan sertifikasi oleh importir dan memiliki kredibilitas dan akuntabilitas di pasar ekspor.

Masalahnya, biaya untuk memperoleh SVLK ini mahal. Sebagai gambaran, untuk eksportir skala UMKM, setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp 30 juta per tahun dan ditambah Rp 110.000 per lembar invoice. Selain itu, UMKM mebel juga kesulitan memenuhi persyaratan Tata Usaha Kayu (TUK).

“Untuk mengatasi seluruh persoalan itu, saya mengusulkan agar pemerintah membantu dengan menerapkan pelaksanaan audit tahunan dengan melakukan audit komunal. Mempermudah perizinan dan menghapus persyaratan legalitas perizinanTUK. Mempermudah persyaratan dokumen impor produk bahan baku penolong,” ujar Budianto.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya