Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mendukung penuh pemerintah dalam mengatur kewajiban kerja sama Over The Top (OTT) global dengan operator seluler nasional melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut Kristiono, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi memang belum mengatur model bisnis OTT global di wilayah Indonesia secara spesifik.
Advertisement
"Karena saat itu memang belum ada OTT. Oleh karena itu, saat inilah kesempatan dan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menegaskan hal tersebut dalam draf RPP Cipta Kerja Bidang Postelsiar. Jadi, semua OTT harus mematuhi ketentuan tersebut," ujar Kristiono.
Padahal, kata dia, OTT termasuk ke dalam pengertian jasa telekomunikasi sesuai definisi telekomunikasi yang tercantum di UU Nomor 36 tahun 1999. Karena itu, penyelenggara OTT dapat dikategorikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi yang wajib bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Lewat PP yang mengatur model bisnis OTT global, Kristiono menyebut pemerintah telah menegakkan kedaulatan negara di ranah siber. Terlebih, menurut dia, OTT telah menikmati banyak manfaat ekonomi dari penggunanya di Indonesia tanpa berkontribusi kepada negara.
"Selama ini OTT sudah beroperasi di Indonesia tapi seolah tanpa tersentuh aturan, seolah-olah tidak punya kewajiban apa-apa terhadap negara. Jadi, OTT wajib bekerja sama dengan operator nasional. Pemerintah harus menegaskan hal tersebut melalui RPP Turunan Cipta Kerja di sektor telekomunikasi," tegasnya.
Dirugikan
Sementara itu, Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Mastel, Nonot Harsono menilai pengaturan yang lebih jelas tentang keberadaan pemain OTT global sangat diperlukan.
Jika OTT tidak segera diatur, dia menilai akan semakin banyak mudaratnya bagi negara dan juga industri telekomunikasi nasional.
"Setiap pihak asing menapakkan jangkauan bisnisnya di wilayah Indonesia, amat lazim mereka meminta izin kepada Pemerintah Indonesia ketika hendak menawarkan akses layanan atau mengambil manfaat dari wilayah orang lain," ujar Nonot.
Presiden Joko Widodo, menurut Nonot, juga sudah memberi arahan tegas dan jelas tentang pentingnya kedaulatan digital.
Namun di sisi lain, Nonot menilai para raksasa platform OTT akan berusaha keras meyakinkan para penentu kebijakan di Indonesia dan negara lainnya untuk tidak mengatur hal tersebut.
"Biasanya mereka berdalih 'biarkan internet bebas agar rakyat bebas berinovasi dan mengekspresikan diri'. Padahal, Pemerintah Indonesia berusaha keras merangkul para raksasa ini agar menjadi objek pajak Indonesia melalui paket pengaturan dari Menteri Keuangan. Contohnya seperti pajak transaksi online di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 dan aturan lainnya," jelasnya.
Advertisement
Mendorong Kemkominfo dan Kemenkeu
Karena itu, Mastel mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk bersinergi dengan Kementerian Keuangan dalam melaksanakan arahan Presiden dengan mengupayakan aturan pelaksanaan kerja sama antara platform aplikasi/OTT global dengan penyelenggara jaringan nasional.
"Tukang pulsa saja mau dikenai PPN dan PPH, masa OTT asing yang mendapat triliunan rupiah dari masyarakat Indonesia dibiarkan tidak ada berkontribusi ke negara. Bahkan tidak mau permisi mengurus izin, membangun kantor di Indonesia, tidak melaporkan perolehan pendapatan dari wilayah NKRI," kata Nonot menegaskan.
Tanpa regulasi yang mengatur bisnis OTT, Nonot menilai pemerintah akan kesulitan menjalankan tugasnya sebagai penengah. Apalagi sejak akhir 2019 lalu, Mastel mengendus para raksasa OTT berniat membangun jaringan kabel optik sendiri agar bisa meninggalkan para operator.
"Artinya pada waktu yang tidak lama lagi, platform/OTT ini akan punya jaringan sendiri dan akan mendisrupsi industri telekomunikasi. Apakah harus menunggu industri telko mati, baru mulai berpikir? Atau bahkan membiarkan platform/OTT global itu menguasai semuanya dengan dalih hukum alam yang liberal," tutur Nonot menutup pernyataannya.