Liputan6.com, Jakarta - Laju penularan virus corona atau Covid-19 di Indonesia terus meningkat di tengah upaya pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali.
Selama PPKM Jawa-Bali diterapkan, penambahan kasus harian justru beberapa kali memecahkan rekor. Bahkan total akumulatif kasus Covid-19 di tanah air telah menyentuh angka psikologis 1 juta sejak 26 Januari 2021 lalu.
Advertisement
Belum lagi kasus aktif Covid-19 di Indonesia yang kini tercatat paling tinggi di Asia, menggeser India yang mulai berhasil melandaikan kurva penularannya. India yang memiliki total kasus Covid-19 terbanyak kedua di dunia yakni 10,8 juta mulai berhasil menekan laju penularan dan kematian.
Melihat laju penularan Covid-19 di Indonesia yang tak terkendali, Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun menyatakan bahwa kebijakan PPKM Jawa-Bali periode 11 hingga 25 Januari 2021 tidak berjalan efektif. Hasil dari kebijakan tersebut tidak sesuai harapan.
Hal ini disampaikan Jokowi dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat, 29 Januari 2021 lalu, dan videonya baru diunggah Sekretariat Presiden pada Minggu (31/1/2021).
"PPKM tanggal 11 Januari sampai 25 Januari, kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi, indeks mobility-nya ada. Sehingga, di beberapa provinsi, covid-nya masih naik," kata Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan, PPKM sejatinya diterapkan untuk membatasi mobilitas masyarakat sehingga penyebaran virus corona dapat terkendali. Namun, dia melihat tidak ada ketegasan saat menerapkan kebijakan tersebut.
"Sebenarnya esensi dari PPKM ini kan membatasi mobilitas, namanya saja pembatasan kegiatan masyarakat. Tetapi, yang saya lihat di implementasinya, ini kita tidak tegas dan konsisten," ungkap Jokowi.
Karena itu, Jokowi meminta jajaran menterinya lebih aktif melibatkan pakar epidemiologi untuk menyusun kebijakan PPKM agar berjalan efektif. Dia juga memerintahkan para menteri mensosialisasikan penerapan protokol kesehatan dengan cara yang efektif dan sederhana.
"Ini memang harus bekerja sesimpel mungkin, sesederhana mungkin. Tapi betul-betul ada di lapangan, di provinsi-provinsi yang sudah kita sepakati," katanya.
Pakar Epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman mengapresiasi pernyataan Presiden Jokowi yang menyampaikan laporan apa adanya kepada publik terkait evaluasi penerapan PPKM Jawa-Bali. Dia berharap ini bisa menjadi momentum perbaikan kebijakan yang konsisten.
"Kita semua harus konsisten bahwa pengendalian pandemi ini harus berbasis data yang kuat, memadai, cermat, tepat, termasuk berbasis sains, bukan kepentingan," ujar Dicky saat dihubungi Liputan6.com, Senin (1/2/2021).
Sejak awal, Dicky mengaku telah mengingatkan bahwa kebijakan PPKM tidak akan efektif menekan laju penularan Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat, terutama di wilayah Jawa. Ibarat bola salju yang sudah semakin besar, PPKM adalah respons yang terlalu kecil untuk penanganan Covid-19 di tanah air.
Menurut dia, PPKM tak ubahnya lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah dimodifikasi atau dilonggarkan. Sehingga kebijakan tersebut dinilai tidak akan efektif untuk menghadapi kasus Covid-19 yang sudah besar seperti saat ini.
"Dan saya ingatkan juga bahwa kita setengah-setengah dalam pengendalian pandemi ini, untuk setengah sektor kesehatan dan sektor ekonomi, dan enggak dapat dua duanya. Saya bukan ahli ekonomi, tapi dari sisi kesehatan jelas enggak akan ada dampak signifikan dan itu merugikan. Itu yang membuat akhirnya kurva pandemi kita begitu lama memanjang, menguat, dan memakan korban banyak," kata Dicky.
Karenanya, Epidemiolog yang pernah terlibat dalam penanganan kasus flu burung itu meminta agar pemerintah menerapkan lockdown sesuai UU Karantina Kesehatan, terutama di daerah yang memiiki kasus aktif tinggi. Di samping juga tetap aktif melakukan upaya testing, tracing, dan treatment (3T).
"Kita harus PSBB sesuai regulasi dan tidak dimodifikasi. PSBB sesuai regulasi UU Karantina Kesehatan itu lah yang dimaksud lockdown, di mana benar-benar tidak ada aktifitas apa pun, seperti halnya kota mati, namun tetap harus ada penguatan 3T. Dan jangan lupa dukungan pada masyarakat rawan ekonomi. Ini yang selalu saya ingatkan sejak awal pandemi, tepatnya Maret 2020," kata Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menegaskan bahwa semua negara menerapkan upaya 3T untuk menekan laju penularan Covid-19 dan risiko kematian. Namun yang membedakan hanya komitmen dan konsistensinya dalam melakukan upaya-upaya tersebut.
"Strateginya sudah ada dan itu berlaku universal. Kesalahan Indonesia, selain terlambat, tidak berkomitmen kuat dan tidak konsisten dalam aspek mendasar testing, tracing. Permasalahannya jadi jauh lebih besar, efek bola salju. Kalau bicara populasi besar, China pun besar. Respons mereka cepat, pendekatan mereka berbasis science," katanya.
Dia kemudian memberikan contoh keberhasilan India menurunkan kurva Covid-19. Menurut Dicky, negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu berkomitmen dan konsisten melakukan testing, tracing, isolasi, karantina, dan treatment karena tahu kapasitas kesehatannya tidak mampu melayani lonjakan kasus Covid-19 yang sedemikian besar.
Selain itu, India juga memiliki klinik demam untuk mendeteksi dini masyarakat sebelum ke rumah sakit atau Puskesmas. Ini penting, agar orang yang bergejala seperti Covid-19, utamanya demam tidak semuanya menyerbu rumah sakit, sehingga fasilitas kesehatan menjadi overload.
"Dia perkuat benar dan door to door. Jadi proaktif sekali. Active case detection-nya melibatkan kader, terutama perempuan, di daerah, di level desa, dan perumahan. Sebelum mereka ke klinik pun sudah didatangi, dipastikan. Ini terbukti efektif," ucap Dicky.
India memang terbilang tidak berhasil menerapkan lockdown karena faktor ekonomi dan banyaknya masyarakat miskin di sana. Namun dengan konsistensi dan komitmen yang tinggi terhadap strategi dasar yakni testing, tracing, isolasi, karantina, dan treatment, terbukti India mulai berhasil menurunkan kurvanya.
"Kunci pengendalian pandemi kan menemukan kasus secara awal, sehingga mereka belum sempat menyebarkan virus ini kemana-mana. Ini yang dilakukan di India dan terbukti berhasil, selain mereka punya klinik demam," kata Dicky menandaskan.
Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengatakan, karantina terbatas dapat menjadi model penerapan PPKM di lapangan. Model karantina terbatas ini juga bisa diterapkan dalam kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Yang paling penting dalam PPKM atau PSBB, yaitu mencari model baru penerapan di lapangan. Penerapan model baru ini seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, yakni karantina terbatas," ucap Daeng saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (1/2/2021).
"Karantina terbatas ini penting sekali untuk model implementasi di bawah (lapangan). Dan itu selaras dengan kebijakan yang pernah disampaikan Presiden soal Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM). Tinggal modelnya saja dicari. Selama ini enggak dicarikan modelnya."
Daeng menambahkan, model karantina terbatas sebagai wujud memperkuat PPKM atau PSBB.
"Karantina terbatas harus diwujudkan untuk memperkuat PPKM atau PSBB. Saya kira ini bagus dikonsepkan dengan baik. Jadi alternatif penguatan implementasi PPKM di lapangan," tambahnya.
Apabila PPKM dinilai tidak efektif, Daeng mengatakan hal itu perlu dianalisis lebih jauh. Faktor apa yang dinilai tidak efektif, lalu bagaimana strategi dan impelementasi di lapangan.
"Kalau Saya melihat strategi PPKM itu pada dasarnya mirip PSBB, tapi memang membutuhkan model penerapannya seperti apa di lapangan," lanjut Daeng.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Perkuat Landasan Hukum
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan, bahwa sejak awal ia sudah memprediksi PPKM tidak akan efektif dalam menangani pandemi Covid-19.
"Saya sudah bilang hampir di semua media, kalau PPKM mau diberlakukan ya berlakukan saja, tetapi tidak akan ada hasilnya. Kan terbukti," kata Agus saat dihubungi Health Liputan6.com pada Senin (1/2/2021).
"Banyak faktor yang sudah saya sampaikan sejak Maret soal tidak adanya peraturan daerah yang bisa memberikan sanksi denda kepada masyarakat yang tidak patuh," sambungnya.
Agus menilai, aturan pembatasan masyarakat seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah atau Perda, bukan keputusan kepala daerah seperti yang sekarang banyak dilakukan. Sehingga landasan hukumnya lebih kuat.
Menurutnya, hal ini sudah tertera dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
"Disiplin masyarakat jadi tidak ada. Mau diapakan? Saya bilang kan denda harus. Dendanya jangan cuma Rp 250 ribu, kalau perlu Rp 1 juta," ujarnya.
Menurutnya, tidak ada kaitannya penerapan denda ringan karena alasan situasi ekonomi sedang sulit. "Supaya dia tidak bayar mahal, patuhilah aturan yang ditetapkan pemerintah," kata Agus.
Agus mengatakan, banyak peraturan yang saat ini hanya berbentuk Surat Edaran. Menurutnya hal ini bukanlah produk hukum. Ia bahkan mengibaratkannya seperti sebuah majalah dinding yang hanya bersifat pengumuman.
"Terbukti tidak efektif," katanya. "Pemerintah ambigu antara mau memberantas pandemi dengan menjaga ekonomi, itu tidak bisa."
Dihubungi terpisah, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko menyebut, efektivitas PPKM ada, namun tak sebesar apabila dibandingkan dengan karantina wilayah atau lockdown.
"Mungkin tidak lebih dari 50 persen, mungkin kurang dari 50 persen," ujarnya saat dihubungi di kesempatan yang berbeda.
Tri Yunis mengatakan dalam suatu penanganan wabah, pembatasan kegiatan seharusnya dilakukan dalam skala sedang atau berat. "PSBB berat sama dengan lockdown. Kalau PSBB sedang ya mungkin di bawah itulah."
Dia menegaskan bahwa sudah sejak lama mengusulkan agar pemerintah melakukan karantina wilayah. Tak harus nasional, tetapi cukup wilayah Jawa saja yang padat penduduk.
"Jawa kan 60 persen populasinya, sehingga bisa dikontrol. Kalau sekarang sudah terlambat. Ya meskipun terlambat harus dilakukan, kalau tidak tracing-nya bagaimana, mengawasinya bagaimana," katanya.
"Semua negara melakukan karantina kok. Perkara nanti muncul lagi itu lain persoalan. Tetapi dengan karantina kita bisa mengontrol, wilayah Jawa saja-lah. Semua diperiksa, dibayari negara," ucapnya menambahkan.
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan, bahwa masukan Presiden Jokowi sangat berharga terkait penanganan pandemi corona untuk lebih baik lagi, terutama dalam hal penegakan kedisiplinan.
"Ke depannya kami akan mengintensifkan pengawasan kebijakan PPKM sampai ke tingkatan mikro melalui pemberdayaan kolaborasi berbagai elemen di masyarakat," katanya kepada Liputan6.com, Senin.
Dia menyatakan, pemerintah akan menampung dan mempertimbangkan semua usulan para pakar terkait penanganan pandemi Covid-19, tak terkecuali soal kebijakan lockdown.
"Dalam diskusi kebijakan seluruh opini sangat dihargai, namun keputusan final opsi mana yang akan dipilih akan melihat pertimbangan efektifitas maupun efisiensi, baik untuk sektor kesehatan, maupun sektor sosial, ekonomi lainnya," tutur Wiku.
Advertisement
Peran Penting Masyarakat
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh mengamini pernyataan Presiden Jokowi bahwa PPKM Jawa-Bali tidak efektif menekan laju penularan Covid-19. Berbeda dengan pelaksanaan PSBB di awal pandemi lalu, kebijakan PPKM sudah lebih longgar.
"Saya merasa ketika pagi sampai malam sama sekali semua berjalan seperti biasa, karena bisa jadi ini karena tuntutan ekonomi, karena masyarakat sudah lelah dengan PSBB, dan bisa juga karena masyarakat berpikir sudah ada vaksin, jadi mereka lebih tidak terlalu terpikir tetap di rumah," katanya kepada Liputan6.com, Senin (1/2/2021).
Dia menyatakan bahwa, tujuan utama PPKM adalah menegakkan protokol kesehatan (Prokes) untuk mencegah penularan Covid-19. Namun yang terjadi justru banyak masyarakat abai terhadap prokes.
"Jadi wajar saja PPKM tak efektif," ujar legislator yang akrab disapa Ninik ini.
Lebih lanjut, menurut Ninik, kebijakan lockdown total tidak mungkin diterapkan di Indonesia karena pertimbangan ekonomi dan sebagainya. Karena itu, di samping gencar melaksanakan vaksinasi Covid-19, masyarakat juga berperan penting untuk mematuhi prokes pencegahan virus corona.
"Jadi prokes ketat jadi salah satu jalannya," ucapnya.
Sementara anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen mendorong pemerintah terus mengevaluasi penerapan PPKM dengan basis data dan riset untuk menentukan langkah selanjutnya. Dia juga meminta pemerintah lebih tegas dalam menerapkan kebijakannya.
"Kebijakan PPKM harus lebih tegas dengan melibatkan ormas, agar sosialisasi lebih massif. Juga, pastikan informasi sampai ke tingkat RT/RW. Nah, ke depan penting agar semua daerah di Jawa Bali ikut PPKM, tidak hanya beberapa kawasan saja," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin.
Menurut dia, cara apapun yang dilakukan pemerintah, tujuan utamanya adalah menekan penyebaran virus corona, mengobati yang terinfeksi Covid-19, sembari menjaga keseimbangan ekonomi. Vaksinasi Covid-19 juga menjadi salah satu tumpuan strategis dalam mengani pandemi ini.
"Selanjutnya, publik bisa mendukung dengan terus mematuhi protokol kesehatan, jaga kekebalan tubuh, olah raga secara teratur, dan jaga pola makan," ucap dia.
Tak hanya komisi yang menangani masalah kesehatan, pimpinan DPR juga turut menyoroti tidak efektifnya penerapan PPKM di Jawa-Bali. Pemerintah pun diminta kembali memformulasi ulang kebijakan tersebut demi menekan laju penularan Covid-19.
"Memang perlu dipikirkan formulasi ulang tentang bagaimana kita tidak membuat atau mengatasi lonjakan Covid-19," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan, Senin (1/2/2021).
Salah satunya dengan melakukan deteksi dini apa saja yang berpotensi membuat lonjakan kasus Covid-19. Politikus Partai Gerindra ini mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi libur panjang saat Imlek dan hari raya Idul Fitri.
"Kami mengimbau kepada pemerintah untuk mewaspadai atau merencanakan ulang mengenai usulan atau rencana libur panjang yang direncanakan oleh pemerintah. Karena setiap libur panjang itu pasti akan terjadi lonjakan Covid-19," kata Dasco.