Liputan6.com, Jakarta Stigma tentang penyandang disabilitas menjadi hal yang sejak lama dibicarakan. Masyarakat awam cenderung memandang sebelah mata terhadap para disabilitas yang berbeda dari mereka.
Namun, stigma negatif tidak hanya datang dari lingkungan sosial di luar rumah. Stigma pun kerap datang dari keluarga sendiri.
Advertisement
Seperti disampaikan Handayani, aktivis disabilitas asal Bandung yang berkecimpung di dunia difabel sejak 2005 silam.
Menurut mantan manajer program di Bandung Independent Living Center (BILiC) itu, permasalahan disabilitas di lapangan bahkan banyak ditimbulkan oleh orangtua atau keluarga penyandang disabilitas itu sendiri.
BILiC sendiri adalah organisasi disabilitas non pemerintah yang fokus pada advokasi dan penguatan terhadap sesama disabilitas melalui konseling. Penyandang disabilitas yang dilayani pun dari seluruh ragam disabilitas tidak sebatas disabilitas fisik.
Menurut perempuan yang akrab disapa Teh Yani itu, sebagian orangtua penyandang disabilitas masih menganggap bahwa anak mereka tidak memiliki kemampuan untuk berkembang. Akibatnya, para difabel tidak diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan formal maupun informal.
“Jadi ketidakpercayaan keluarga terhadap anak disabilitas bahwa anak itu mampu, butuh bantuan, dan bisa berkembang,” ujar Yani kepada Liputan6.com, Senin (1/2/2021).
Kasu-kasus seperti ini sering ia temui ketika melakukan kunjungan di lapangan untuk melakukan konseling kepada penyandang disabilitas.
Simak Video Berikut Ini
Stigma Keluarga Yani
Selain melihat kasus di lapangan, Yani sebagai penyandang polio juga mengalami sendiri stigma-stigma keluarga tersebut.
Stigma ini datang dari keluarga pasangan, di mana pasangannya pun adalah penyandang disabilitas fisik di kedua kakinya akibat polio, sedang Yani hanya salah satu kakinya yang tidak sempurna.
“Keluarga bilang jangan punya anak, nanti siapa yang membiayai anak-anak itu. Itu dari keluarga suami, beda lagi dengan keluarga saya yang menganjurkan untuk memiliki keturunan.”
Dalam hal ini, perempuan yang hobi kuliner ini menyimpulkan bahwa setiap keluarga berbeda-beda. Ketika anak dari keluarga tersebut memiliki disabilitas berat maka mereka cenderung lebih tidak percaya pada anaknya.
Dalam kasus lain, Yani sempat disebut orang gila karena ingin menggali potensi seorang penyandang disabilitas berat. Orangtua difabel tersebut melihat bahwa anaknya bahkan tidak dapat berbicara dengan baik sehingga harapan berkembang sangat minim.
“Kalau orangtuanya mendukung saya lakukan konseling, kalau orangtuanya tidak mendukung tapi difabelnya ingin mendapat konseling ya saya lakukan, tapi kalau keduanya tidak menginginkan konseling itu ya saya tidak memaksakan karena itu pilihan mereka, pungkasnya.
Advertisement